O – From ILOVEU Series

o-bapkyr2-request

Hi. The 3rd chaps of bapyul series is finally made its way.

Main Cast : Kwon Yuri -Yoo Yong Jae

Title : O

Length : Ficlet [but it a lil bit longer]

Genre : Angst

Disclaimer : I just own the plot and idea. Do Not Plagiarism.

Thanks to banana for the awesome poster.

***

“Yongjae, duduk di tempatmu dan mulai bekerja.”

Pria tua berkumis tipis dengan ikat kepala kain kumal kini mengoceh. Aku menggoyangkan kakiku malas dan menaruh sebuah tas punggung sembarangan di pojok ruangan. Seragam ketat dengan rompi bau yang kupakai kini kulepaskan begitu saja. Sambil bertelanjang dada, aku berjalan pada sebuah lemari kayu dan mengambil selembar kaus tipis untuk kupakai.

Matahari hari ini bersinar lebih terik dari biasanya. Entah karena aku memang tidak pernah menyukai matahari atau pemanasan global benar-benar terjadi.

Pria tua itu memandangiku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dia tidak pernah protes soal gaya berbusana para anak-anaknya –kecuali aku.

“Ganti juga celanamu. Kau akan kepanasan dengan celana tebal.” Perintahnya.

Aku menggeleng. Celana panjang ini adalah satu-satunya yang paling berharga dari sekian celana kumalku yang lain. Aku hanya bergegas, berjalan sembari menghindari kontak mata dengan pria tua itu. Aku masuk ke sebuah ruangan kecil di balik pintu. Aku duduk di balik sebuah lubang sebesar bola tenis pada jendela kayu.

Ruangan itu tertutup rapat. Satu-satunya lubang saat ini adalah lubang sebesar bola tenis tersebut. Dari sana, aku bisa melihat ke luar, dimana pelataran depan kuil yang bersih terbentang.

Setiap hari, dari lubang itu, aku bisa melihat beberapa orang berlalu lalang, duduk kemudian membunyikan lonceng dan menepuk-nepukkan kedua tangannya tiga kali. Mereka berdoa sambil memejamkan mata kemudian pergi dengan beberapa keping uang sen yang mereka tinggalkan dalam kendi kecil yang tersedia.

Setiap selasa, aku akan bertugas mendengarkan mereka. Mendengarkan permohonan dan segala curahan isi hati para pengunjung yang datang. Tidak heran, aku anak pendeta –bagaimanapun.

Pekerjaan ini membosankan. Aku hanya duduk dan mendengarkan semua pengunjung yang bercerita dan memohon panjang lebar. Aku tidak bisa berbicara atau menimpali apa yang mereka katakan. Menurut Ayah, itu dilarang.

Pekerjaanku dalam bahasa asing dinamai The Listeners. Sesuai maknanya, aku hanya mendengarkan.

Terdengar mudah memang, namun tidak semua orang bisa bertahan dengan ini. Sebelumnya, kaka kandung ku hampir gila hanya dengan duduk di sini selama 2 hari. Bagaimana tidak?. Tidak semua pengunjung menceritakan permohonan bahagia mereka. ada beberapa yang memohon untuk mencelakai orang lain, ada yang memohon agar keluarga mereka mati, ada yang menceritakan betapa kejinya suaminya, ada yang menceritakan betapa buruknya kehidupan mereka. Beragam.

Mereka yang duduk di tempatku saat ini, tidak ada yang lebih kuat daripada aku –secara mental.

Aku tidak suka pekerjaan ini, jika bukan ayahku yang meminta. Aku juga tidak tahu apa fungsi bagi semua orang yang telah menceritakan semua keluh kesahnya di tempat ini. Bukankah sama saja dengan mereka bicara pada batu? Toh, aku di sini tidak akan menjawab semua permohonan mereka.

Tapi selasa, adalah hari yang paling baik.

Setiap selasa tepat pukul 4 sore, seorang gadis akan datang ke tempat ini dan menceritakan kisah hidupnya.

Aku sudah cukup dewasa saat ini, tepat dua bulan dari sekarang aku akan menginjak umurku yang ke-17. Artinya, aku sudah bekerja di tempat ini selama kurang lebih 10 tahun. Sejak aku berada di tahun kedua ku dalam sekolah dasar.

Wanita cantik yang sering berdoa dan datang kemari tiap hari selasa adalah orang asing buatku. Aku tahu wajahnya, aku tahu kisah hidupnya, tapi dia tidak pernah tahu apa-apa tentang eksistensiku. Yang dia lakukan hanyalah datang, membunyikan lonceng, berdoa, bercerita dan meninggalkan kepingan sen di kendi –layaknya pengunjung yang lain.

Dan yang kulakukan adalah duduk, memandangi gadis itu dari balik lubang di depan wajahku dan mencatat apa yang dia ceritakan.

“…Aku datang.”

Aku mengintip pada lubang kecil dan melihat seorang gadis dengan seragam duduk di depanku. Kami hanya dibatasi oleh dinding kayu tipis dan lonceng kecil. Ia duduk bersila, seperti yang biasa ia lakukan. Gadis itu menepuk-nepukkan tangannya dan memejamkan mata. Ia berdoa.

Aku memperhatikan bagaimana garis wajah gadis itu terbentuk dan mengapa ia begitu sempurna.

“…Aku baru saja pulang sekolah. Hari ini hari ulang tahunku. Jadi aku akan bercerita banyak…”, gadis itu mulai bicara. Aku melihat jam tanganku dan seketika menyesal akan sesuatu.

“…Ibu menamparku tadi pagi karena noda darah di bajunya. Itu bukan pekerjaanku, tapi aku yang menerima hukuman… Ayah hanya menatapku dari balik pintu, di kursi roda dan dengan tangan yang bergetar. Nana eonni mengatakan lagi-lagi bahwa aku adalah si pembawa sial…”

Cerita itu lagi. aku bergumam rendah. Gadis ini telah menderita karena keluarganya selama kurang lebih 10 tahun terakhir. Aku ingat sekali, 10 tahun yang lalu ketika gadis ini datang ke kuil, ia membawa bekas luka lebar di dahi dan tangannya. Darah berceceran pada setiap pasir yang ia lalui. Tapi dia tidak  pernah menangis. Selama 10 Tahun dia bercerita kisahnya padaku, dia tidak pernah sekalipun meneteskan air mata.

“…aku telah bercerita padamu selama 10 tahun terakhir ini. Apa kau masih orang yang sama di balik sana?”, dia bertanya. Aku ingin menjawab, tapi aku tidak bisa. Pria tua berkumis ada di balik ruangan ini, jika ia mendengarku bicara… Maka aku harus mengatakan selamat tinggal pada makan malam.

“…Kuharap kau orang yang sama. Mungkin kau ingat ceritaku tentang bagaimana ibu memberikan luka ini?”

Gadis itu menunjukkan bekas sayatan lebar di betisnya. Aku mengingatnya, saat itu ibu gadis menggunakan pisau untuk membuat luka besar itu.

“Ibu memberikan luka besar ini karena kesalahan yang tidak pernah aku buat. Aku tidak paham… Kau yang dibalik dinding, apakah kau pernah dihukum karena kesalahan yang tidak pernah kau lakukan?”

Aku menelan ludah. Aku benar benar tidak bisa berbicara walau aku ingin. Gadis ini memainkan psikisku.

“Mungkin hanya aku…”

Bibir gadis itu bergetar. Angin meniup poninya, menunjukkan dahinya yang lebar dengan beberapa bekas luka belum mengering di sana. Akhirnya aku mengerti, kenapa beberapa bulan terakhir gadis itu memiliki poni aneh di depan dahinya.

“Aku pergi sekarang. Sampai bertemu selasa depan. Selamat ulang tahun untukku”

Gadis itu berkata lirih. Namun bibirnya menyunggingkan senyum. Saat ia menaruh koin di dalam kendi, rambutnya tergerai jatuh. Aku bisa melihat beberapa luka memerah yang sedikit membusuk di lehernya. Sepertinya gadis itu memang korban kekerasan yang sangat parah.

Aku berdehem kecil, membuat suara secara tidak sengaja karena kengerian yang aku lihat. Gadis itu menoleh, mencari sumber suara. Aku menurup mulut dengan kedua tanganku segera, berharap gadis itu tidak menyadari suara tadi.

Ia menatap pada lubang bola tenis yang terpatri di dinding kayu. Dia tidak bisa melihatku, aku bisa melihatnya. Dia tersenyum, kemudian bibirnya bergerak rendah.

“Jadi kau adalah pria.”

-oOo-

“Jangan berdehem hari ini. Jangan mengeluarkan suara sekecil apapun, Yongjae.” Pria tua menyebalkan itu memperingatkanku lagi setelah minggu lalu aku melakukan kesalahan. Hari ini adalah selasa kedua dalam bulan Juli. Mentari masih bersinar, sangat terik.

Aku duduk di ruangan sempit menanti detik-detik di mana wanita itu biasanya datang.

Pengharapanku tidak lama, gadis cantik itu datang dalam beberapa menit setelah aku duduk. Ia melakukan ritualnya seperti biasa, kemudian ia mengambil posisi duduk bersila dan mulai bicara, matanya menatap ke atas pasir yang ia duduki.

“Luka di punggungku baru saja sembuh, Tapi ibu menyiramkan air panas pada tubuhku. Aku tidak sanggup melihat tubuhku sendiri pada permukaan cermin…”

Gadis itu terbata, ia menuliskan sesuatu di atas tanah. Ia menggambar. Bentuk bulat kemudian garis lurus. Aku mengintip lebih dekat dan mencoba melihat apa yang sebenarnya ia lukis di sana.

“kau pria, bukan? aku tidak tahu namamu, tidak tahu berapa umurmu… tapi aku akan memanggilmu oppa. Kau tidak keberatan?”

Gadis itu masih menulis, aku mengunci bibirku erat. Angin yang cukup panas, menerbangkan sedikit rok dari gadis itu. Aku melihat luka lebar mirip dengan alas dari setrika panas ada di sana. Aku bergidik. Gadis macam apa dia tidak sekalipun melawan dan menangis.

oppa… Aku berpikir untuk meninggalkan dunia ini…”, pupilku membesar mendengar pengakuannya. Aku ingin mencegah gadis ini. Tapi kalimatnya belum selesai.

“…sampai akhirnya aku menemukan kuil ini. Kau tahu betapa senangnya aku mengunjungi tempat ini walau hanya sekali selama seminggu?, Aku bisa berbicara sepuasku di tempat ini tanpa perlu di sayat atau dipukul. Jika di rumah, sekali saja aku bicara, Ibu akan memaki dan memukulku dengan keras…”

Gadis itu tersenyum lirih.

“…Aku pernah memohon pada Tuhan agar Dia mengambil kembali pita suaraku. Apa gunanya benda itu jika setiap kali aku menggunakannya, aku akan selalu disakiti. Bahkan si bisu saja bisa menyuarakan betapa ia ingin bicara. Lalu aku?”

Aku menelan ludah. Gadis itu tidak menghilangkan seberkas senyuman dari wajahnya barang sedikitpun.

“…Tapi hari ini, aku ingin mencabut permohonanku pada Tuhan. Aku akan terus berbicara. Jika ibu tidak ingin mendengarnya, maka oppa harus mendengarkannya.”

Aku tersenyum ketika dia menyebutkan ‘oppa’ padaku. Tidak lama, gadis itu berdiri, menepuk-nepukkan rok pendeknya dengan tangan. Pasir dan debu berjatuhan. Ia menarik kaus kakinya yang sempat melorot sampai batas dengkul. Tapi terlambat, aku sudah melihat bekas luka baru di balik kaus kaki itu.

Gadis itu tersenyum kembali padaku. Ketika dia pergi, aku mengintip dari balik lubang, penasaran dengan apa yang ia gambar di atas pasir.

4 bentuk tubuh manusia dalam bentuk bulat dan garis vertikal-horisontal terpajang di sana. 3 diantaranya wanita dan satu pria yang terlihat duduk di atas sebuah kursi roda. Mereka berpegangan tangan.

-oOo-

Agustus. Hari ini sudah selasa ke empat bulan Agustus. Gadis itu masih sering datang dan bercerita. Aku merasa semakin dekat dengannya –secara psikis. Ingin sekali ada masa di mana aku keluar dari bilik itu dan menunjukkan wajahku padanya. Menunjukkan pria yang sudah lama gadis itu sebut sebagai oppa.

oppa, tadi malam ibu merobek buku sekolahku. Dia bilang kenapa nilaiku selalu lebih besar dari Nana eonni. Ayah ada di sana saat itu, dia hanya bisa memandangku membatu. Apa aku sudah menceritakan tentang stroke Ayah yang sudah semakin parah?”

gadis itu berbicara panjang lebar. ia menarik napas sebentar kemudian bercerita kembali padaku.

“… oppa, 10 tahun ini aku sudah menyusahkanmu. Aku bercerita banyak, tanpa mendengar cerita milikmu. Lain waktu, ketika aku datang… Kau yang harus cerita. Aku adalah pendengar yang cukup baik.”

Gadis itu tersenyum. Dia beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkanku. Dadaku sangat sesak, melihat gadis itu memunggungiku dan menjauh. Entahlah, aku hanya merasa dia akan meninggalkanku untuk waktu yang lama.

-oOo-

Hari ini adalah selasa ketiga bulan September. Sejak kedatangan gadis itu pada Agustus lalu, dia tidak pernah kembali lagi kesini. Aku entah kenapa merindukannya. Hari selasaku menjadi mendadak membosankan dan menyeramkan.

Satu yang aku sadari, bahwa sebenarnya aku ada di balik dinding ini hanya untuk mendengarkan ceritanya.

Aku hampir menyerah jika saja pria tua itu tidak memelintir telingaku pelan. Aku duduk kembali di ruang pengap itu sambil menunggu pengunjung. Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita dengan rambut kemerahan yang tidak merata dengan gaun putih pendek, datang ke arahku. Aku memicingkan mata. Gadis itu tidak mengenakan alas kaki, padahal matahari cukup terik untuk membuat kerikil memanas.

Aku memperhatikan wajahnya yang semakin dekat. Gadis yang tidak kukenal namanya itu kini kembali datang, tepat di hari selasa dalam jam yang lebih sore.

Ia tidak duduk. Ia hanya berdiri dan memandangi lubang tempatku mengintipnya saat ini. bibirnya bergerak lembut.

oppa…. aku datang”

Ucapnya singkat. sebelumnya aku agak aneh dengan gadis ini. Biasanya ia datang dengan membawa ransel sekolahnya dan seragam lengkap dengan luka-luka di tubuhnya. Hari ini dia datang dengan gaun pendek, menunjukkan kulit mulusnya padaku. Tanpa bekas luka sama sekali. Dan lagi rambutnya yang kehitaman, kini menjadi kemerahan.

oppa… terakhir aku bilang padamu bahwa aku akan mendengarkan kau bercerita. Maaf, aku tidak bisa melakukannya saat ini… maafkan aku…”

Tidak apa-apa. aku ingin mengatakan itu padanya. Tapi aku memilih bungkam sambil memperhatikan guratan mata sendu pada gadis itu.

oppa… Ibu sudah berhenti menyiksaku sejak seminggu yang lalu. Aku sangat bersyukur untuk itu, Tapi ibu mendiamkanku selama seminggu. Dia tidak sekalipun melihat ke arahku dan bicara padaku. Ibu pergi dari rumah kemarin, beserta ayah dan Nana eonni. Tapi mereka tidak mengajakku. Aku dibiarkan di dalam kamarku. Oleh karena itu, aku kemari…”

Gadis itu menelan ludahnya. Untuk pertama kalinya, senyuman hilang dari wajahnya.

oppa… Aku ingin pergi bersamamu dan melupakan rumah itu.”

Aku tersentak mendengarnya. Gadis cantik itu memintaku untuk membawanya. Tanganku bergetar. Seperti aku adalah sebuah kapal dan menemukan pelabuhan yang  tepat.

oppa… aku tidak tahan berada di rumah sendirian. Tanpa ibu, di sana hanya bau busuk dan kotor. Lihat rambutku, aku tidak tahu kenapa warnanya kemerahan seperti ini. Rambut ini juga sudah sangat bau. Aku butuh udara segar, aku akan pergi dari rumah dan memulai hidup baru.”

Aku melihat mata gadis itu. dia serius.

“Aku akan kembali ke rumah, mengemasi barangku. Oppa, susul aku di rumah besok pagi. Aku akan menuliskan alamatnya untukmu. Kau harus cepat, aku tidak tahan berada di rumah.”

Gadis itu mencondongkan badannya ke depan. Rambutnya tidak tergerai sebagaimana aku biasa melihatnya ditiup angin. Ia menuliskan sebuah alamat pada pasir dan membiarkan huruf demi huruf itu di sana.

Aku mengintip, merekam dengan jelas dimana gadis itu tinggal.

Gadis itu kembali menegakkan tubuhnya. Kini ia menatap padaku, aku lupa untuk menyembunyikan mataku dari lubang itu. Mata kami bertemu. Aku sempat berekspektasi bahwa ia akan tersenyum padaku, Namun yang kulihat adalah linangan air mata. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri, seolah ia merasakan tubuhnya sakit sepenuhnya. Pandangan mata kami tidak terlepas satu detikpun. Bibir gadis itu menggumam rendah di balik linangan air mata yang turun dengan deras.

oppa, tolong jangan terlalu lama. Aku kedinginan.”

-oOo-

Aku berjalan dengan cepat menuruni bukit. Aku seharusnya mengambil jalur ke kiri dan pergi ke sekolah. Namun yang kulakukan adalah tetap lurus hingga sebuah gerbang perumahan besar terlihat di depan mataku. Aku terpekik. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan gadis itu dan menunjukkan identitasku.

Aku berlari sekuat tenaga. Aku tidak begitu hapal nama jalan di sana serta hitungan nomor rumahnya. Jadi aku hanya berlari bolak-balik sambil mencoba mengingat rumah mana yang dimaksud oleh gadis itu.

Tepat sebelum aku terengah, aku melihat sebuah mobil ambulance dengan beberapa polisi berjaga di depan sebuah rumah besar. Jalanan itu di tutup. Aku baru saja akan berbalik ketika aku melihat nomor rumah bergaris polisi itu dengan jelas. Nomor 9.

Rumah gadis itu.

Aku bertanya-tanya apa yang terjadi di sana. Aku berjalan pelan, dengan langkah hati-hati menuju kerumunan di dekat garis polisi. Beberapa ibu-ibu dengan suami-suami mereka di sana. Terlihat polisi sedang sibuk mengamankan keramaian yang membludak tiap kali mereka lengah. Aku mendekat.

“Permisi, apa yang terjadi?” Aku bertanya pada seorang ibu yang paling antusias. Dia menatapku curiga kemudian menjawab dengan cepat.

“Ada mayat membusuk pagi ini.” Dia menganggap dirinya telah berbicara cukup, tapi aku merasa masih tidak mengerti apa yang terjadi. Aku meninggalkan ibu tadi yang sudah tenggelam bersama kaum sosialita nya yang lain. Aku mencuri pandang ke beberapa petugas yang sedang mengangkat sebuah kantung jenazah. Kebetulan aku tidak terlalu jauh dengan ambulance itu. jadi aku menunggu di sana, barangkali bisa mengetahui apa yang terjadi.

“Kudengar dia sering di siksa.”

“Benar, aku pernah melihat nyonya Kwon memukul gadis itu dengan panci panas.”

“Anakku bersekolah di kelas yang sama dengan gadis itu, dan dia sering melihat luka hebat di sekujur tubuhnya.”

“Malang sekali. Aku dengar dia di bunuh oleh ibunya sendiri. Dan polisi sedang mencari keluarganya yang kabur.”

Aku bergidik mendengarkan percakapan beberapa ibu ibu di dekatku. Entah kenapa aku sangat mual, dadaku menjadi bergejolak dan hatiku menjadi sangat khawatir. Aku menatap pada sebuah kantung mayat yang baru saja dimasukkan ke dalam ambulance. Sesuatu mendorongku untuk membukanya.

Aku mencari kesempatan di saat paramedik sedang lengah. Tanganku bergetar, aku berkeringat. Kusentuh sebuah ristleting di atas kantung tersebut. Aku tarik perlahan ke bawah.

Aku memalingkan wajahku ke arah lain. Bau busuk menyebar, mengganggu hidungku. Aku melihat kembali ke arah kantung mayat.

Mataku melebar, dengkulku benar-benar lemas. Aku kehilangan separuh dari jiwaku.

Seorang gadis terpejam di sana, dia seperti menangis. Rambutnya memerah karena darah, bibirnya pucat pasi, tangannya melingkar di tubuhnya, seperti memeluk tubuh itu erat. Gadis itu terlihat sangat kesakitan dengan luka-luka hebat di sekujur sana. Aku tidak melihat kulitnya yang sehalus susu, yang aku lihat adalah kulit dengan belatung dan membusuk.

Seorang paramedik mendorongku menjauh. Mengemas kembali kantung itu dengan sempurna.

Aku menatap nanar ketika mereka mulai membawa jenazah. Sirine ambulance memekakkan telinga mulai terdengar, semakin menjauh dalam setiap detiknya. Aku berdiri, dengan tatapan aneh dari para ibu-ibu yang berkerumun.

Dengkulku masih lemas, namun aku bertahan agar aku berdiri. Kutatap rumah yang kini kosong di depanku. Nomor 9.

Seorang ibu datang padaku, ia menepuk pundakku beberapa kali.

“Kau teman dari Kwon Yuri?”, ia bertanya. Aku menoleh, menangkap mata bundar indah milik ibu itu. Aku menahan air mataku agar tidak jatuh. Tenggorokanku tercekat hebat. Otakku bekerja mencari jawaban. Aku terdiam beberapa saat, kemudian berbisik rendah.

“Aku bukan temannya. Aku oppa nya.”

-oOo-

Oppa… tolong jangan terlalu lama. Aku kedinginan.”

Aku terbangun. Harusnya aku takut, namun aku lebih memilih tersenyum. Mimpi itu lagi. Aku benar-benar tidak bisa melupakan kejadian itu barang satu detikpun.

Aku sudah berhenti menjadi The Listener. Aku sudah meninggalkan pekerjaan itu sejak 5 tahun lalu.

Kini aku berdiri di balik jas perlente dan dasi. Tempatku bukan bilik tua dengan lubang kecil lagi. Aku duduk di balik sebuah meja kayu besar, di hadapan beberapa orang yang mencari keadilan. Aku tidak hanya mendengarkan, aku yang sekarang sudah bisa berbicara bebas. Aku bahkan membela.

Aku mendesah ketika melihat bangku ruang kerjaku kosong. Aku tertidur di siang hari –lagi. Aku mengambil secangkir gelas dan menuangkan air mineral di dalamnya. Sambil menyeruput, aku membuka berkas-berkas kasus kekerasan terhadap anak-anak  yang berserakan di meja kerjaku. Aku membaca file mereka satu-satu.

Kulihat foto dari anak kecil itu satu persatu. Mereka semua tersenyum, tapi siapa yang sangka kalau mereka terluka. Mereka semua butuh bicara, tapi siapa yang sangka mereka dipaksa bungkam.

Anak-anak bukan sebuah boneka yang bisa dibuang ketika bosan. Mereka juga bukan properti tanpa nama yang bisa diperlakukan seenaknya. Tiap manusia dilahirkan sama. Yang membedakan hanyalah, kapan mereka lahir; bagaimana mereka hidup; serta kapan mereka mati.

Aku memegang teguh prinsipku. Aku adalah seorang pengacara, dan aku menentang keras aksi kekerasan pada anak-anak. Aku menyukai bagaimana anak-anak itu tersenyum ketika mereka dibebaskan dari tekanan. Aku selalu teringat pada Kwon Yuri. Aku selalu rindu, aku selalu… merindukan senyumannya.

Aku memandang sebuah pigura yang berisi gambar wanita cantik dengan seragam di sana, merasa seolah-olah gambar itu bicara, memanggil namaku.

Oppa… tolong jangan terlalu lama. Aku kedinginan.”

THE END

.

.

.

How is it after all? which is ur favourite after all?

i love them actually. kkk~

82 tanggapan untuk “O – From ILOVEU Series

  1. Eh,,,,idenya daebak banget ! baru kali ini denger istilah “The Listener” sebelumny sih belum pernah..
    Itu “The Listener” emang ada beneran/hanya fiksi eon ? #cengo
    Ih,,eommnya yuri eonnie jahat banget sih 😥 .. kasian tu sampe meninggal gegara disiksa.
    LIKE IT 😉 !

  2. EONNIEEE dari ketiga ficlet ini yang paling daebak sejauh ini, ampunn mirisss. itu si yongjae harus nahan hasrat(?) buat gak ngebales omongannya yulnie. ampunn itu si yongjae setia banget, yulnie beneran cian banget. aduhh itu orang tuanya kok sanggup bener nyiksa yulnie sampai begitu. eonnie yulnie ini waktu rambut dia uda warna merah waktu ngedatengin yongjae uda meninggal ya? apa gimana? agak bingung, tapi intinya daebak. hati yongjae sungguh muliaa

    1. Iya pas september yulnie udah ga ada ceritanya.
      wah terima kasih. tapi aku gak terlalu suka cerita ini, soalnya sedih. Hiks. buatnya aja sampe berat tenggorokan.

  3. Aigoo~~ kasihan Yuri eonni ㅠ.ㅠ
    aku rasa aku suka semua ff series ILOVEU ㅡwalau baru 3 series yg aku baca xD

    Gak tau kenapa tapi FF ini daebak bangeuuuddd ^^d

  4. Joahaeee~ /sobs. aku lagi denger lagu Going Crazy-nya Jieun ft. Yongguk dan menurutku pas bgt sama fic ini.. Pwahahaha, aku lagi suka Youngjae oppa, dan aku baca fic ini dan…….. seperti biasa eon selalu bisa bikin speechless. Aku juga lagi suka BAP! Sukanya sama Himchan dan Youngjae oppa.. Ah ya, aku juga seorang rp-nya Yuri eon dan berteman baik sama anak2 bap disana terutama Himchan kyaaa xD jujur aku netesin air mata bacanya, ngga tahan dengan penderitaannya yuri, aku blm baca bapyul lainnya, tapi nanti aku baca, sekali lagi, aku selalu belajar dr fics yg eon tulis, entahlah, tapi menurutku aku memang bisa belajar dr rangkain kata eon. Eon! bias kita sama kan ya xD himchan yuriii~ btw, aku juga lg nyoba nulis, ini project fanfic kompilasi, yang main tentu aja bap pwahahaha aku ganti yuri jadi karakter lain tapi tetep berkiblat kesifatnya dia xD eon, makasih udah jadi The Listeners buat aku kali ini. Maaf ya panjang lebar. I love your story, your every single word. Hwaiting and keep writing! /smooch

    ps; aku ship himchan-yuri. menurut eon, shipper mereka bagusan dikasih nama apa?

  5. Wuaaaaaah…. jadi pendengar yang sama sekali gak bisa berkata apa-apa itu emang ngebatin banget, Jae :’) dan aku salut dengan ketegaran Yuri yang mau disiksa separah apapun sama ibunya, dia gak pernah nangis, gak pernah ngelawan, bahkan dia tersenyum. Pingin punya kekuatan kaya dia :’)
    Kak, padahal aku udah seneng loh pas Yuri minta Youngjae ngejemput dia ke rumahnya, aku kira Yuri bener-bener udah gak disiksa lagi, eh ternyata–lagi-lagi, aku tertipu. Aaaaaah…. pokoknya nyesek deh! Unpredictable bgt kak, cerita-ceritanya ;_;

  6. wow.kren ini ff mngharukan buanget qu smpai nngis nngis bcany the second my favorite vignette in bap series after himyul

  7. nyeseknyeseeeeek
    owh kaknyuuuuuun ini keren banget. yaampun kata katanyaaa mengiris
    dan aku suka karakternya youngjae disiniii, kayak laki banget deh. udah pokoknya daebak

  8. Sedih x cerita a ;(
    Brart yang yuri datang terÀkhir x tuu dy a uud mati ya?? ;(
    Kasian bget yuri a

    Tapi cerita a keren eon,, keep spirit buat nulis ya eonnie

  9. Pantes aja yuri gadiajak ternyata udah mati 😦 yaampun sakit banget pasti ya punya luka sebanyak itu tapi ko bisa ngga nangis ya yurinya? Haduuh warna merah dirambutnya itu darah? Keren deh 😀

Tinggalkan Balasan ke yuura Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.