Love Story – [EXOYUL Series]

love-story_bapkyr_melurmutia(2)

Yoho~~ Alhamdulillah ini FF bisa di post juga setelah ngebangke bertahun-tahun di draft (?)

terima kasih yang udah dengan sabarnya nunggu.

ini Yulhan buat kamu~~

Title : Love Story

Main Cast : Luhan – Kwon Yuri

Genre : Fantasy + Romance

Length : Maunya sih dibilang Vignette. Tapi ini One Shot ternyata.

I just own the plot and idea. Lyrics and song own by Taylor Swift. Do not Plagiarism

Thanks to kaka melurmutia buat posternya.

***

Kemarau. Aku kehausan.

Bisa kau berikan aku sedikit air?

Aku akan memberimu cinta.

-oOo-

Aku terbangun dari tidur singkatku. Mimpi itu lagi. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku pelan. Jarum panjang dalam sebuah jam kuno sudah menunjukkan angka yang lebih besar lagi dari terakhir kali aku melihatnya.

Aku segera membuang selimut tebal dengan bau-bauan anggrek bulan yang aneh. Kudapatkan kakiku di atas lantai batu pualam yang dingin, kemudian aku berjalan ke depan cermin. Kusam dan kusut, tidak ada deskripsi yang lebih jelas lagi selain ini.

Aku membawa sebuah handuk halus yang katanya terbuat dari bulu biri-biri. Agak jijik membayangkan bagaimana pesuruh istana menguliti biri-biri yang setiap hari ia beri makan. Namun ia menyerahkan ini sebagai upeti pada kerajaan. Dan aku harus menerimanya –sebagai delegasi.

Aku bergegas menuju kamar mandi dengan bak yang luas. Airnya sudah dipanaskan dengan aroma melati yang kusuka. Aku mencelupkan kakiku sedikit untuk mengecek suhu air di sana. Pas, tidak dingin dan tidak terlalu panas. Aku membuka bajuku dan menenggelamkan diri di dalam bathtub luas yang mewah.

Beruntung menjadi pewaris tunggal tahta kerajaan? Tidak.

Aku tidak pernah meminta Tuhan agar dilahirkan dalam keluarga ini. Aku juga tidak ingin memiliki kamar yang bahkan bisa menampung 70 orang di dalamnya. Tempat tidurku terlalu luas untuk kutiduri sendiri, dan kamar mandi ini… terlalu lebar untuk memantulkan gumaman nyanyian kamar mandiku.

Tidak ada yang kusukai menjadi seorang keturunan kerajaan, selain kenyataan bahwa aku cantik.

Ya, dan si wanita cantik ini sayangnya tidak dikenal.

Ayahku –Raja William, adalah seorang yang percaya pada takhayul dan peramal istana. Wanita tua yang selalu menggunakan jubah keunguan dengan rambut kusut dan bau busuk itu selalu menjadi si penasihat ahli dalam setiap keputusan yang Ayah buat. Ayah tidak percaya siapapun kecuali wanita menyeramkan itu. Tidak perlu memperjelas bahwa Ayah juga tidak mempercayaiku.

Usut punya usut, di saat aku lahir adalah saat dimana ibuku meninggal. Peramal bau itu mengatakan sesuatu tentang kutukan yang ada pada diriku. Ia mengatakan bahwa aku tidak boleh dipertemukan dengan rakyatku sampai aku berusia 23 Tahun. Ini artinya… apa aku perlu mengatakannya? Apa aku perlu memperjelas bahwa selama 23 tahun aku hidup, aku hanya melakukan semua aktivitasku di istana ini?

Ya. tidak salah.

23 Tahun kuhabiskan hanya untuk memandang prajurit dengan baju besi, Peramal tua yang bau busuk, Singgasana Ayah, pelayan dengan kipas sebesar tubuh mereka sendiri serta mahkota berlian yang sudah kupakai sejak kecil.

Ah, ya… satu lagi tentang kutukan dan ramalan nenek bau itu.

Ia mengatakan –bukan hanya padaku atau Ayah, tapi pada seluruh penduduk Neverland. Bahwa negeri ini akan dilanda bencana ketika aku kehilangan mahkotaku. Dia juga mengatakan bahwa aku harus diusir dari istana untuk membatalkan kutukan itu sampai mahkotaku kembali. Dan parahnya, aku harus dibunuh ketika mahkota itu tidak pernah kembali.

Menyedihkan, bukan?

Inilah sebabnya ayahku selalu mendebat kalimatku setiap kali aku melupakan benda berat bertahtakan berlian murni itu.

“Yuri, dayang hias menunggumu setelah sarapan. Segeralah bersiap.”

Aku memuta bola mataku setelah ketukan dan suara di balik pintu kamarku menghilang. Dayang hias lagi. sampai berapa kali aku harus kesana setiap pagi? Berapa kali lagi olesan bedak dan lukisan aneh di wajahku akan musnah?

Aku mendesah pelan. Mengomel pada diri sendiri adalah keahlianku. Aku segera mengambil handuk, mengeringkan tubuhku dan berjalan dengan kaki telanjang menuju sebuah ruangan dengan berbagai baju di dalamnya.

Seorang dayang wanita yang lebih tua menghampiriku. Ia melucuti handuk yang kupakai dan menggantinya dengan sebuah gaun besar yang indah. Hari ini warna biru. Aku tidak mendebat, warna kesukaanku.

“Apa yang harus kulakukan hari ini, Bibi?” aku bertanya pada wanita tua itu. dia antara lusinan wanita yang berseliweran di sana, hanya wanita tua ini yang kupercaya untuk sekedar melontarkan keluh kesahku tentang kehidupan istanaku. Termasuk cerita tentang seorang nenek bau dan ramalannya.

“Diam di kamar sampai dekorasi untuk pesta malam nanti selesai.”, dia menjawab lugas, meninggalkan aku dengan kerutan horisontal pada dahiku. “Pesta? Pesta apa lagi? tidak bisakah Ayah menyimpan upeti rakyat untuk membangun sesuatu bagiku daripada menghamburkannya untuk pesta?”

“Raja melakukannya untukmu, sebenarnya.”

“Aku tidak meminta pesta.”

“walaupun kau sudah 23 hari ini?”

“AH!”

Bingo. Aku melupakannya. Aku berulang tahun hari ini? aku sama sekali tidak ingat. Setelah wanita tua itu menyelesaikan tugasnya pada gaun biruku, aku melihat sebuah perkamen usang yang terpajang di dinding dengan gagah. Aku susuri setiap angka kecil di sana kemudian mendesis gembira.

“Tapi, apakah ini sudah Desember, bibi?” aku bertanya. Terlalu lama di dalam istana dengan berbagai peraturan, membuatku lupa pada musim. Aku pernah melihat mentari di balik jendela, aku pernah melihat buliran air dari langit yang turun. Tapi salju, aku hanya pernah mendengarnya.

Aku tidak pernah keluar istana, aku tidak tahu bagaimana salju menghujani seluruh negeri ini. Ayahku hanya mengatakan bahwa aku adalah anak yang dilahirkan dari dinginnya salju dan lonceng natal. Aku tidak pernah melihat salju.

“Apa aku bisa keluar? Aku sudah 23 tahun, bukan?” Aku bertanya tulus pada wanita tua di depanku. Ia terlihat ragu sesaat kemudian menggeleng lemah.

“mungkin kau harus menunggu sampai pesta nanti malam usai, nona.”

Aku menundukkan kepalaku, kecewa. Tapi tidak apa, malam hanya tinggal beberapa jam lagi. dan setelah itu, penderitaanku selama 23 tahun akan terhapus sudah.

Tidak ada yang lebih baik dari ini. Tidak ada.

-oOo-

Lampu pesta dan suara musik yang lembut. Aku tidak ingat aku pernah menyukai ini semua. Tapi kenyataannya aku bahagia. Pintu sudah terbuka lebar di depan istana. Dan tepat ketika semua tamu ini pergi, aku sudah bisa menghirup udara dari luar gerbang kerajaan. Menyenangkan.

“Udara malam tidak baik untukmu, Nona.” Seorang pria menghampiriku. Aku masih terbengong di depan balkon istana, menghindar dari pesta dan memandang bintang.

Aku tersenyum pada pria itu. Aku tidak mengenalnya sama sekali. “Ah. Aku sudah terbiasa, Tuan.” Kujawab asal. Sebenarnya pria itu cukup tampan, namun aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk berbicara dengan orang asing.

“Apakah kau yang berulang tahun hari ini? Maaf karena aku sedikit terlambat…” Pria itu menyodorkan sebuah hadiah di dalam kotak kecil padaku. Aku melihat cincin bertahtakan berlian biru dan putih di sana. Indah sekali.

“Ini dari kerajaan kami, Aku kurir dan hanya bertugas menyampaikan ini padamu, nona.” Sahut pria itu padaku. Aku sempat terpesona ketika melihat pria tampan memberiku cincin. Tapi ketika ia mengatakan bahwa ia hanya bertugas mengantarkan, luluh lantaklah semua mimpi indahku.

“Oh, terima kasih kalau begitu. Sampaikan untuk kerajaanmu salam terhormat dari kami.” Aku mencoba tersenyum lembut padanya, memperlihatkan keanggunanku sebagai putri raja. Pria itu membalas senyumanku dengan tidak kalah indahnya. Ia pamit dari hadapanku dan segera berjalan menuruni tangga istana. Aku bisa melihat langkah kaki lebarnya dari atas balkon.

Jika saja aku bukan putri raja, aku mungkin sudah akan jatuh cinta padanya.

Aku baru saja akan berbalik dan berjalan anggun dengan sebuah cincin di tanganku ketika dengan tiba-tiba lampu padam. Aku diam, tidak bergerak lebih banyak. Aku mendengar semua orang memanggil namaku dan mereka panik.

“Aku di sini.” Kujawab, setengah berteriak. Kemudian suara keras dan debaman terdengar di mana-mana. Aku tidak tahu apa yang  terjadi. Ayahku kemudian berteriak. Dari suaranya yang sayup, aku tahu bahwa kami berada cukup jauh satu sama lain. Aku baru saja akan menjawab panggilannya dengan mengatakan ‘aku di sini’ atau semacamnya. Namun seseorang membekap mulutku dengan benda bertekstur lembut dan berserat. Kurasa itu kain atau sapu tangan.

Aku menahan napas sebisaku. Pernah mendengar tentang kasus penculikkan putri mahkota di kerajaan tetangga, aku seolah berada dalam kasus tersebut saat ini. Kudengar dari Ayah bahwa saputangan bisa menjadi sangat berbahaya jika penculik memberinya zat semacam racun pada permukaannya. Satu-satunya cara agar racun itu tidak terserap ke dalam tubuh adalah menahan napas.

Jadi, Ya, aku menahan napasku selama dibekap.

“YURI!” Suara Ayah lagi, kali ini aku ditarik paksa oleh seorang yang memegangi tubuhku dari belakang. Aku diajaknya berjalan diam-diam di antara beberapa debaman keras di depanku. Mungkin terjadi semacam perkelahian di sana. Sayangnya aku tidak bisa melihat di tengah kegelapan yang sangat pekat ini.

High Heels yang aku pakai mungkin cukup memperlambat gerakanku sehingga penculik itu –begitu aku menyebutnya, memutuskan untuk membuang kedua sepatu kerajaan itu. Saat aku menemukan celah untukku berteriak, aku melakukannya.

“AYAH!” ucapku keras. Namun seseorang memukul kepalaku dengan lebih keras daripada teriakkan yang aku ucapkan. Kepalaku sakit. Sepertinya aku baru saja dipukul oleh benda keras atau sesuatu sejenisnya. Selain rasa perih dan sakit di kepala, aku merasakan perutku mual.

Suara jeritan pria paruh baya yang terdengar sekilas semakin menipiskan semangatku untuk bertahan. Mungkin sesuatu terjadi pada ayahku nun di seberang sana. Aku lemas, dengkulku tidak dapat lagi menopang berat badanku. Aku terduduk lemas di atas tanah dengan kepala yang masih sakit.

Mataku berat, terasa sangat berat. Aku bisa mendengar derap langkah cepat berkelebatan di telingaku saat aku terjatuh sempurna di atas lantai. Seseorang menginjak gaun mahalku dan membuang pahaku terseret beberapa meter. Aku tidak meronta, aku diam –terlalu lemas bahkan untuk tetap terjaga.

Entah ini seharusnya disebut sebagai hari bahagiaku atau bukan. Semuanya menjadi gelap –dala arti sesungguhya, dan kacau.

Adegan perkelahian kini terdengar di balik tubuhku. Aku frustasi karena aku tidak bisa melihat siapa yang bertarung dan untuk apa mereka melakukan itu. Yang aku bisa jelaskan adalah suara jeritan pelan dan kesakitan setiai debaman dan adu fisik terjadi.

Entahlah.

Dalam beberapa menit kemudian, seseorang mengangkat tubuhku dan ia berlari. Tubuhku tergoncang dalam tangan-tangan kekar yang menopang punggungku. Aku tidak tahu siapa dia dan kemana ia akan membawaku. Pun tidak mengetahui kenapa aku tidak berteriak.

Aku diam, merelakan satu malam panjang yang seharusnya membuatku bahagia, menjadi malam panjang yang tidak pernah kumengerti sama sekali.

-oOo-

Aku mengucek mataku yang sembab. Aku bersumpah aku tidak pernah menangis –jika terlelap dan menguap kemudian mengeluarkan air mata tidak termasuk salah satu unsur menangis. Tapi mataku benar-benar bengkak.

Aku menoleh ke sisi kanan, ke arah dimana sebuah sungai mengalir dengan indah. Airnya sangat bening hingga bebatuan kecil yang terhampar di dasarnya dapat terlihat jelas dari permukaan. Aku merangkak perlahan menuju ke sisi sungai tersebut dan menghirup bau-bau tanah yang tertutup salju.

Aku tidak mengerti.

Sungai di sana tidak membeku meski sekelilingnya tertutup oleh salju setebal 3 sentimeter. Dan lagi, salju itu tidak terasa dingin sama sekali di kulitku. Entah aku memang diciptakan untuk tahan rasa dingin atau memang salju tersebut tidak pernah sedingin yang aku ekspektasikan.

Aku mencoba menyingkirkan perasaan aneh itu jauh-jauh. Aku dehidrasi parah dan butuh untuk membuat kerongkonganku basah. Aku meneguk air sungai yang jernih sedikit demi sedikit sampai kerongkonganku basah sempurna.

“Kau sudah baikan, Tuan Puteri?” Aku hampi tersedak dengan wajah yang tercelup sebagian ke dalam sungai ketika pantulan wajah seorang pria tampan muncul di permukaan air. Aku pikir ia arwah air dalam dongeng kerajaan yang sering diceritakan para dayang istana padaku.

“Kau tidak apa-apa?” Aku mendengar suara itu lagi dan kini dapat mengumpulkan akal sehatku. Yakin bahwa suara itu bukan berasal dari air, aku menoleh ke belakang dan mendapati sosok tinggi besar dengan wajah tampan di sana. “Kau kurir tadi malam…” Ucapku terbata.

“Kau menculikku?” Aku segera berdiri meski kakiku belum siap. Dan sebagai akibatnya, aku harus merasakan pantatku mendarat sempurna di atas tumpukan salju lain. Pria itu terkekeh kecil kemudian tangan kurusnya menggapai tubuhku. “Jangan sentuh aku!” perintahku kasar.

Aku menggeliat sedikit dan mencoba mengangkat pantatku dalam kesempatan pertama. “Aku bisa berdiri sendiri. Lagipula ini tidak terlalu sakit.” Dengan sedikt arogansi, aku berhasil berdiri.

“Namaku Luhan…” Lanjut pria itu dengan tubuh membungkuk dan tangan bersilang di depan dada padaku. Sepertinya ia mengerti tentang posisi kami. Maksudku, aku tuan puteri kerajaan ini dan dia… setidaknya dia tahu dimana posisinya. “Dan aku tidak pernah menculikmu, Tuan Puteri.” Lanjutnya.

“Lalu kenapa aku…” Aku mengerdarkan pandanganku, tidak menghentikan kalimatku begitu saja. Kulihat sebuah bangunan berkilauan yang tinggi menjulang kini berapa beberapa kilometer di depan mataku. Aku berada sangat jauh dari rumahku sendiri. “…di sini?” tutupku.

“Mungkin kau ingat tentang kejadian tadi malam, Tuan Puteri?” Aku memijit keningku sendiri dan mengingat. Lampu padam, perkelahian dan pemukulan kepala keras. “Sesuatu terjadi di dalam istana, benar?” Aku menemukan pencerahan.

Pria di depanku mengangguk. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas nya dan memberikan sebuah lembaran yang sudah kumal kepadaku. Aku menerimanya dengan ragu kemudian membaca isinya. Lembaran itu berbentuk persegi panjang dengan sebuah sketsa wajahku di atasnya. Awalnya aku gembira karena akhirnya ada seseorang yang sadar bahwa aku telah hilang dari istana. Namun kalimat penjelasan yang berada di kertas itu memudarkan seluruh harapan yang pernah ada.

Puteri Yuri kehilangan mahkotanya. Setelah melumpuhkan seisi istana, Puteri Yuri kabur dari istana.

“Berita macam apa ini?” Aku memekik. Kuraba mahkota yang seharusnya berada di atas kepalaku. Benda berkilau itu hilang. “dan kemana mahkotaku?”

“Tuan Puteri harap tenang, aku tahu berita itu bohong karena aku berada di istana malam itu.” Luhan, pria kurir itu kini mencoba mendapatkan perhatianku. Aku belum bisa percaya padanya. “Apakah kau pencurinya?” aku mendelik curiga.

“Mungkin levelku lebih rendah dari status Yang Mulia dan Tuan Puteri, tapi standarku terlalu tinggi untuk mencuri sebuah mahkota.” Paparnya. Aku mengerutkan dahi. Kubaca perkamen itu lebih jelas. di sana menyebutkan kalimat tentang ‘kutukan yang akan terjadi ketika puteri melepaskan mahkotanya’ dan perintah-perintah atas penangkapanku dan imbalannya.

“Kudengar seluruh rakyat kerajaan mengincarmu untuk dikembalikan ke istana, Tuan Puteri.”

“Kalau begitu bagus, aku akan kembali ke istana dan menjelaskan semua kesalahpahaman ini.” Ucapku mantap. Pria di depanku mengerutkan dahinya, seperti tidak pernah setuju dengan usulanku. “Aku sebenarnya tidak ingin ikut campur dalam hal ini, hanya saja…”

“Apa?” aku memiliki rasa ketidaksabaran yang cukup tinggi dengan melihat bagaimana ragunya pria itu dalam memilih kata-kata.

“Aku mendapatkan selebaran itu dari istana langsung. Mereka bercerita tentang kutukan Puteri dan Mahkotanya, dimana ketika Puteri kehilangan mahkotanya atau terpisah dari mahkotanya, maka kerajaan ini akan dilanda wabah dan musibah dalam waktu dekat. Untuk itu mereka membutuhkanmu…”

“Mereka akan memasang kembali mahkota itu di kepalaku, bukan?”

“Seharusnya seperti itu, tapi kerajaan sepertinya kehilangan mahkota itu saat lampu padam tadi malam. Dan sebagai gantinya, jika mahkota tidak pernah ditemukan, Sang pemilik harus dipersembahkan kepada penguasa alam untuk mencegah musibah.”

Aku mengerutkan dahi. Aku cukup pintar untuk mencerna kalimat pria kurir itu, tapi tetap saja aku membutuhkan satu pernyataan lebih jelas dari mulut pria di depanku.

“Maksudmu… mereka akan…”

“membunuhmu, kurasa…” Sambut pria itu, dengan terbata tentunya.

Aku menatap nanar pada bangunan megah jauh di depanku. Aku terlempar dari istana untuk alasan yang tidak jelas dan sekarang kehilangan mahkota kemudian diancam untuk dibunuh. Hebatnya, semuanya terjadi hanya dalam satu malam saja. Satu malam ulang tahunku.

Nadiku berdenyit lemah, seperti kehilangan jalur. Siapa sebenarnya yang merencanakan semua kerusuhan tadi malam, kemana mahkotaku pergi dan siapa yang mengambilnya. Pertanyaan-pertanyaan itu bergelayut hebat di dalam otakku. Aku juga tidak bisa melunturkan perkiraan tentang pria di depanku. Meski dia mengaku sebagai kurir dan –sepertinya- dia yang menolongku tadi malam, tetap saja dia adalah orang asing.

Di fase seperti ini, aku bahkan tidak bisa memikirkan apa yang terjadi dengan ayah tadi malam. Apakah ia masih aman di dalam istana dan memerintakan rakyat untuk menangkapku, atau seseorang sedang memanfaatkan situasi ini demi kepentingan pribadi.

Jika yang benar adalah kemungkinan terakhir, maka aku bisa memastikan kecurigaan terbesarku pada peramal bau di dalam istana. Nenek-nenek tua dengan tampilan kuno yang sama sekali tidak keren.

Omong punya omong, aku tidak melihat nenek bau itu di malam ulang tahunku. Aku tidak ingat apakah bahkan baunya pernah mengisi ruangan itu.

Aku melihat perkamen usang yang masih ada di tanganku setelah kuremas kesal, aku buka kembali lembaran itu dan membacanya kembali dengan teliti. Aku memperhatikan sketsa wajahku dan melihat tertanda si penyebar perkamen di bawah kertas itu.

Tulisannya seperti ayahku, tapi aku yakin itu bukan. Beberapa bagian dari tulisannya melenceng, seperti tangan si penulis bergetar. Ayahku tidak pernah melakukan itu, dalam situasi apapun, tulisannya akan terkesan lugas dan tegas –sebagaimana karakternya.

Sampai di situ, aku menyimpulkan sesuatu. Bahwa bukan ayahku yang menulis perintah itu. Dan juga aku bisa menyimpulkan, pria di depanku bukanlah bagian dari komplotan yang menimbulkan kekacauan tadi malam. Seseorang dari dalam istana melakukannya dengan sengaja untuk menggulingkanku, dan sepertinya aku tahu itu siapa.

Nenek peramal bau.

-oOo-

“Semua persiapan telah dilakukan, Charlotte” Seorang pengawal istana menekuk salah satu kakinya dan menundukkan kepala di hadapan seorang wanita tua dengan tongkat panjang di tangannya. Wanita itu duduk dengan menyeramkan, dalam artian dengan sebongkah gigi-gigi ompong kehitaman dan bau-bauan yang menyengat. Charlotte mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi kemudian menyepakkan tongkat itu pada dada pengawal yang sedang bertekuk lutut di hadapannya.

“Sudah kubilang, panggil aku Yang Mulia mulai hari ini.” gigi wanita itu bergemeretak di saat ia mulai bicara. Pengawal yang baru saja terjengkang kini mulai bertekuk lutut kembali sambil memuja wanita itu seperti yang ia minta.

Setelah dirasa cukup, wanita itu memerintahkan pengawal di depannya untuk pergi sementara ia sendiri menutup pintu aula besar singgasana raja tersebut dengan hati-hati. Ia tertawa, memantulkan suara nenek-nenek nya ke seluruh sudut istana. Ia memandang sebuah cermin yang terletak di dengan kursi raja dan menilik dirinya sendiri di sana.

Tangannya terangkat, begitupula bayangan yang ada di dalam cermin. Satu yang tidak masuk akal. Pantulan dirinya di cermin, kini sedang memegangi sebuah mahkota indah. Sedangkan satu yang berdiri di dalam dunia nyata, tidak memegang apapun selain tongkat.

“Kau bekerja dengan sangat baik, Charlotte.” Ia memuji dirinya sendiri di cermin. Baik pantulan dan tubuh asli kini tertawa bersamaan. Kemudian bayangan tersebut hilang setelah Charlotte mengetukkan tongkatnya. Charlotte masih membawa tawa menggelegar nya ke sebuah ruangan kecil tempat ia menaruh peti-petian.

Dibukanya satu peti yang paling besar, dan seorang pria berkumis dengan penampilan yang berantakan kini tertidur di sana. Mati? Tidak, belum.

Charlotte hanya memantrai pria itu agar ia tertidur dan tidak membuat kegaduhan selama rencananya menangkap Yuri belum selesai. Setelah ia berhasil membunuh Yuri, dan secara resmi mendapat mahkota dari gadis itu, mungkin William akan dibunuhnya segera.

“Aku masih membutuhkanmu untuk ramuan awet mudaku.” Gumam Charlotte terkikik pelan. “Dia harusnya sudah mati tadi malam jika seseorang tidak membawa gadis itu. Tapi gadis itu akan datang demi mahkota ini. Saat dia bertemu denganku, aku akan menyerap seluruh kecantikannya dan menggantikannya sebagai puteri dari kerajaan ini. Inilah alasanku untuk mengarang semua ramalan itu padamu, wahai William. Membiarkan rakyat tidak pernah mengetahui wajah puterimu, membiarkan anak itu di istana sejak kecil dan mengarang ramalan tentang mahkota, semuanya adalah demi hari ini. Hari di mana seluruh Neverland akan menjadi milikku.“

Charlotte membanting tutup peti itu keras dan berjalan menjauh. Ia tertawa terbahak-bahak, kemudian dengan sangat tiba-tiba di dadanya ada gemuruh yang sangat besar sehingga membuatnya melihat ke arah bola krystal yang terpajang di salah satu sudut ruangan yang lain.

Dilihatnya dengan jelas, seorang wanita dengan gaun robek dan seorang pria yang berjalan di belakangnya. Nenek tua itu tersenyum.

“sudah kubilang, gadis itu akan kembali pada mahkotanya. Sudah kubilang.” Seringai seram dari deretan gigi busuk nenek tua itu kini terpajang di depan bola krystal yang meredup. Suara lengkingan yang sanggup meretakan gendang telinga kini menyebar di setiap sudut, memantul dan bersahutan satu sama lain.

Yuri tidak pernah tahu bahaya yang menunggunya. Dia hanya ingin mahkota dan ayahnya kembali.

-oOo-

“Kenapa kau mengikutiku?”

“Aku tidak ada pilihan lain, gerbang perlintasan kerajaan sudah ditutup. Aku tidak bisa kembali ke istanaku di seberang sana.” Pria itu menjawab. Aku memutar bola mataku. Pria bernama Luhan ini sebelumnya bersikeras mengikuti kemana aku pergi setelah ia mendengar cerita bahwa aku tidak pernah keluar istana dalam 23 tahun. Dan lagi sepertinya ia tidak memiliki sesuatu yang harus dikerjakan di negeri yang bukan negerinya ini.

“Kau akan membantuku?” Tanyaku penasaran. “Jika itu bisa membuat gerbang perlintasan utama bisa terbuka lebih cepat, maka, ya.” jawabnya.

Itu artinya dia memang ingin membantuku. Aku bisa lega.

Luhan bukanlah orang jahat seperti yang aku bayangkan. Aku bahkan menyesal pernah membayangkan dia sebagai salah satu yang memisahkan aku dengan mahkotaku. Dia adalah pria yang sangat manis. Beberapa waktu lalu ketika ia menawarkan separuh roti gandumnya padaku, dadaku berdetak keras.

Aku belum pernah memakan roti gandum sebelumnya di istana, jadi kurasa aku telah memakan dua kali porsi dari pada yang biasa Luhan makan.

“Luhan, katakan lagi, darimana kau berasal?” Aku bertanya, kening pria itu berkerut. Aku buru-buru menambah kalimat tanyaku. “Aku lupa…”

Dreamland. Hanya sebuah kerajaan kecil.”

Dreamland?” ulangku, mengerutkan dahi. “Aku tidak pernah mendengarnya.”

“Negeri mimpi? Kau tahu?” Kemudian aku mengangguk atas penjelasan singkat Luhan. “Kalau itu yang kau maksudkan aku tahu. Kau berasal dari sana, Luhan? Kudengar separuh lebih dari rakyat di kerajaan itu bisa menafsirkan mimpi. Kau salah satunya?”

Luhan mengangguk dan tersenyum. Aku bersumpah bisa melihat cahaya terang di sekeliling pria itu ketika melihat senyumannya.

“Kalau begitu kau bisa mengartikan mimpiku… aku selalu diganggu mimpi ini di setiap malam…” ucapku terbata. “Katakan saja, aku akan mencoba sebisaku” jawab Luhan.

Aku menceritakan padanya tentang mimpiku. Dimulai dari aku yang sedang tersesat di sebuah rawa-rawa. Aku terduduk di atas perahu reyot kecil dengan satu buaya besar yang menungguku di tepinya. Kemudian aku melengkapi ceritaku tentang bagaimana seorang pria turun dari kudanya dan menyelam untuk kemudian menyelamatkanku. Buaya itu menyerang dan hampir menelan seorang pria itu.

Kemudian cahaya berkelebatan terlihat mengelilingiku seperti sebuah aurora yang indah. Aku tidak berada dalam rawa-rawa lagi. Aku berada pada ruangan hampa serba putih. Pria itu datang lagi dengan sebuah kuda yang lebih gagah dari sebelumnya. Ia tampak lesu terlepas dari betapa cemerlangnya cahaya dari tubuhnya.

Kemudian dengan terbata, ia mengatakan kalimat yang selalu menggangguku.

“Kemarau, Aku kehausan, Bisa kau memberiku sedikit air? Aku akan memberimu cinta. Itu yang pria misterius katakan padaku di dalam mimpi. Dan aku tidak tahu apa artinya.” Ucapku menutup cerita. Luhan mengangguk sebentar kemudian tertawa. “Ada sesuatu yang lucu?”

Luhan menggeleng sebentar sambil mengontrol tawanya. “Aku bisa mengerti sampai bagian buaya. Namun yang kau katakan tentang pria kehausan dan kemarau itu, aku tidak bisa mencernanya.”

“Oh, kau bisa bilang saja kau tidak dapat menafsirkan mimpiku. Jangan menutupinya dengan tertawa aneh seperti itu.” Ucapku kesal.

“Tapi itu lucu buatku. Untuk apa seorang pria berjalan pada wanita hanya untuk menukar air dengan cintanya. Ini mimpi paling aneh yang pernah kudengar.”

Aku memutar bola mataku, membiarkan pria itu masih menahan tawanya. Aku berjalan di depannya dengan lebih cepat, berusaha memperpendek jarakku dengan istana yang ada di depanku. Terlepas dari gangguan kecil pria ini, aku yakin aku akan segera tiba di istana dan menemui nenek bau itu. Aku perlu penjelasan darinya –segera.

-oOo-

“Sekarang bagaimana kita akan melewati ini?” Aku mendongak pada sebuah gerbang besar yang ada di depanku. Penjagaan di sana cukup ketat. Aku tidak mengenal para pengawal yang kini ada di depan gerbang tersebut. Sepertinya mereka pegawai baru atau sesuatu.

Aku menyembunyikan tubuhku di semak-semak atas saran dari Luhan. Aku tahu, dia cukup membantu. “Kau tahu jalan belakang?” tanyanya.

“maksudmu?”

“Ya, jalan pintas atau semacamnya. Apa kau menghabiskan 23 tahun hidupmu dengan berdiri di dalam kamar tanpa berkeliling di istanamu sendiri?” pria itu mencibir. Aku mengedikkan bahuku. Tidak tahu harus berkata apa.

“Ikut aku!” perintah pria itu mendadak. Aku sempat kaget karena dia tiba-tiba menarik tanganku. Ini mungkin hal yang normal buatnya. Tidak sama sekali untukku. 23 Tahunku di istana, membuatku tidak pernah melihat pria lain selain ayahku dan para pengawal istana. Untuk bersentuhan kulit seperti ini, aku tidak pernah merasakannya.

“ada apa?” tanyanya ketika aku membatu di tempat. Kemudian dengan satu kali gerakan cepat, ia melepaskan tanganku.”Maaf, aku lupa kau Tuan Puteri yang terhormat dan tidak pantas disentuh oleh pria sepertiku.” Tambahnya. Ia berjalan lurus ke depan, memunggungiku dengan perasaan aneh.

Bukan itu yang aku maksud. Luhan salam paham padaku.

Biasanya aku hanya akan membiarkan kesalahpahaman itu dihapus waktu sendirinya jika aku masih berada di dalam istana. Tapi sesuatu menyelimuti otakku, membuatnya berkabut dan semakin mendung ketika aku berpikiran untuk diam.

Jadi aku berdiri, dan menyusul Luhan. Aku menggenggam tangan pria itu kembali tanpa diminta. Saat jemarinya menyentuh telapak tanganku. Kupu-kupu tiba-tiba melintas di dalam perutku, seperti mereka baru saja keluar dari kepompongnya dan terbang dengan bebas.

Luhan tidak bergerak, ia menatap tangan kami dan kemudian menatapku. Aku mencoba mengalihkan pandanganku dari mata indahnya. Pipiku sepertinya panas sekali.

“B-bawa aku masuk ke istana…” perintahku terbata. Aku mencoba membelokkan topik dari yang seharusnya mungkin akan terjadi. Luhan sepenuhnya setuju, dia membawa tanganku ke arah kakinya menuju. Aku tidak tahu kemana, apakah dia akan membawaku ke istana atau ke jurang, aku tidak peduli. Dengan bergenggaman tangan dengannya saja, aku sudah merasa seperti aku sudah berada di surga.

-oOo-

Charlotte tertawa terbahak-bahak ketika memperhatikan sepasang adam-hawa kini berjalan bersisian dan bergandengan tangan. Ia mematikan bola krystal nya kemudian cekikikan dengan nada rendah.

“Gadis ini sudah jatuh cinta. Bagus. Aku menemukan titik lemahnya.”

Charlotte dengan tawanya yang kembali melengking, kini memerintahkan salah satu prajuritnya untuk membuka gerbang istana belakang. “Tapi Yang Mulia…” sanggah prajurit itu.

“Laksanakan segera. Tidak ada protes. Kau ingin melihat Tuan Puteri-mu masuk dengan mudah ke rumahnya, bukan?”

Di akhir kalimatnya, prajurit itu menelan ludah. Ia bergegas menunduk hormat dan pergi dari aula tersebut. Charlotte kembali membubuhkan tawa dalam setiap kalimatnya. Ia terbatuk sesekali kemudian kembali tertawa dengan nada cempreng. Cermin besar masih di sana, di tempat dekat singgasananya. Ia melirik dan melihat mahkota itu masih dalam dunia paralel di balik cermin.

“Semua sudah disiapkan, Tuan Puteri. Kemari dan pilih dengan cara apa kau akan mati.”

-oOo-

Aku dan Luhan berada di salah satu tempat yang sangat kukenal dengan baik. Taman istana. Kami telah masuk ke istana setelah sebelumnya aku berdebat dengan Luhan mengenai pintu gerbang yang tiba-tiba terbuka. Pria itu mengatakan sesuatu tentang jebakan dan semacamnya. Namun aku terlalu kalap untuk masuk ke dalam istana. Maksudku, apa perlu mencari jalan lain sementara ada jalan besar terbuka begitu saja di depan?

Aku berbelok ke salah satu belokan masuk ke istana di depan taman, tidak ingin membuang waktu dengan mengagumi air mancur di taman besar yang masih menyala di sana. Tepat ketika aku mulai menaiki tangga di lantai bawah, bau amis dan bau tidak sedap lain menyergak hidungku.

“Bau apa ini?” Luhan menarikku kembali ke sisinya –setelah sebelumnya aku melepaskan diri dan berjalan di depannya karena debat tidak berguna di awal.

“Nenek tua yang kuceritakan.” Ucapku “si peramal itu?” tanya Luhan.

Aku mengangguk. Tidak banyak bicara. Aku sudah curiga sejak aku menginjak anak tangga. Biasanya dayang istana berdiri di ujungnya dan mencoba menekukkan kakinya ketika melihatku. Sekarang, mereka lenyap. Entah kemana. Lagipula istana seperti pekuburan orang mati. Bau dan senyap.

Aku menoleh singkat ketika melihat pintu ruangan ballroom yang digunakan sebagai pesta ulang tahunku masih tertinggal berantakan. Bola  lampu hias di mana-mana serta berbagai perlengkapan kaca yang masih berserakan di atas lantai dengan terpecah belah. Luhan hanya menggeleng. Ia menahanku untuk tidak berjalan lebih jauh darinya. Tanganku lagi-lagi digenggamnya kembali.

“Berhenti.” Ucapnya. Ia mengintip dari balik pintu dan melihat kesana kemari. “Aku mengira mahkotamu tertinggal di sini.” Ucap Luhan lagi. Aku mengedikkan bahuku dan kembali berjalan. Aku tidak ingin lepas dari tangan yang diberikan Luhan pada tanganku dan aku tidak tahu kenapa.

“Kita temui nenek bau itu terlebih dahulu, dia pasti tahu kemana mahkotaku pergi.” Usulku. Luhan hanya mengikutiku. Ketika sebuah lukisan besar terjatuh tiba-tiba di dekat kepalaku, pria itu menarikku ke belakang dan membuat tubuhku terpelanting jatuh di atas tubuhnya. Kami berguling beberapa kali di atas lantai sebelum akhirnya karpet merah tergulung di depan menghentikan putaran itu.

Lukisan yang baru saja terjatuh adalah lukisan Ayah. Firasatku menjadi sangat buruk. Tapi aku tetap tenang.

“Terima kasih.” Jawabku cepat pada wajah Luhan yang kini ada di depan hidungku. Aku cukup kaget ketika menemukan posisi kami yang bertumpan tindih dengan Luhan sebagai alas.

“Kita harus cepat, Tuan Puteri.” Luhan tidak mengindahkan ucapan terima kasihku. Aku mendengar degupan tidak stabil di dalam dadanya. Dia sepertinya, sedikit gugup.

Aku mengangguk dan segera berlari memimpin. Aku membuka setiap ruangan setiap menghirup udara bau yang menyengat daripada ruangan lainnya. Kejadian itu terus berulang sampai aku melihat satu-satunya ruangan yang tersisa. Ruangan Ayah. Singgasana raja.

Aku membuka pintu besarnya yang berderit. Sosok dalam jubah kumal tertangkap mataku. Nenek tua itu. Ia menatapku dengan seringai tajam di bibirnya. Bibirnya kemerahan, aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi padanya. Tapi kemerahan yang terlihat, adalah kemerahan seperti bercak darah.

Di balik tubuh nenek itu, sebuah peti terbaring. Aku berjalan dengan berani lebih dekat, hingga akhirnya aku tahu siapa yang terbaring di sana.

“Kau membunuh ayah?” aku mulai geram. Nenek bau itu tertawa melengking, kemudian dengan ajaib pintu di belakangku menutup. Untung saja Luhan sudah berdiri bersisian denganku.

“koreksi, aku akan membunuhnya. Tapi tidak hari ini. Aku masih berurusan denganmu, Tuan Puteri.” Nenek tua itu berjalan pelan, ia menggeser sebuah cermin hingga aku bisa melihat wajahku sendiri di sana. Beberapa prajurit masuk dan menahan Luhan di belakangku. Aku sempat menoleh ke belakang ketika seseorang memanggilku lembut.

“Yuri…” Aku tidak mengenali suara itu. Tapi aku bisa melihat tubuhku sendiri terpantul di cermin tersebut. Dengan gaun sutera lembut, dan mahkota yang ada di kepalanya, membuatku tersadar bahwa akulah yang berdiri di pantulan cermin itu.

Aku menggapai kepalaku, kalau-kalau aku memang memakai mahkota yang sama persis seperti yang terlihat di dalam cermin. Namun tidak sama sekali. Aku melihat diriku di cermin, tapi pantulan itu memiliki apa yang tidak kumiliki. Dan lagi… dia berbicara.

“Yuri… aku dirimu…” ucap wanita itu lagi. Aku bingung. Aku memperhatikannya tanpa suara. Seperti terhipnotis, aku berjalan semakin mendekat ke dalam cermin itu.

“Apa kau kehilangan mahkotamu?”, aku mengangguk. “Aku memilikinya” ucap wanita di dalam cermin itu lagi. Ia menunjukkan sebongkah mahkota dengan berlian di sekelilingnya.

“Lihat gaunku, bukankah ini indah?” wanita itu berputar, mempertontonkan gaun biru yang mengkilap diterpa cahaya. “dan yang ini… kau pasti tidak pernah memilikinya…”

Tiba-tiba seseorang datang di dalam cermin itu, mengisi kekosongan di ruang kiri. Seorang wanita yang matanya sangat mirip dengan milikku. Rambutnya tergerai indah dan kakinya jenjang, putih pucat. Bibirnya tidak henti-hentinya menyunggingkan senyum.

“Dia ibumu…” sahut si wanita di dalam cermin. Aku tidak heran kenapa matanya sangat mirip denganku. Wanita itu menatapku teduh. “Ini pertemuan pertama kita, bukan? Kau Yuri…” sapa wanita itu. Aku tidak bisa berkata apapun. Mataku mengerjap lemah. Dia benar-benar ibuku. Dan airmataku berlinangan.

“Maaf aku tidak bersama denganmu selama 23 tahun terakhir ini…” ucapnya terbata, masih dengan tatapan teduh. “…tapi jangan pernah menyalahkanku, kau yang membunuhku, Yuri…” sorot mata wanita itu menjadi tajam. Aku merasa seperti ditampar oleh kata-katanya. Aku menatapnya baik-baik, senyumannya hilang dari pandangan mataku.

“Melahirkanmu dan kehilangan nyawaku adalah kesalahan terbesar yang pernah kubuat. Kau yang membunuhku Yuri. kau membuhuh ibumu sendiri. Teganya kau melakukan itu padaku… dan lihat sekarang… kau sendirian, tanpa ayahmu, kau bukanlah apa-apa…” Aku mundur perlahan. Mata wanita itu menjadi merah. Bayangan diriku yang ada di cermin hanya terdiam.

“Kau pembunuh. Kau adalah Puteri yang kotor, membunuh ibunya sendiri!” wanita itu berteriak kesakitan. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak ketakutan. Aku tidak pernah sekalipun membayangkan ibuku akan semarah itu padaku. Bukan salahku juga, aku tidak pernah minta untuk dilahirkan olehnya.

“YURI! Sadarlah!” Suara pria kini terdengar dari balik bahuku. Aku menoleh dan menemukan Luhan di sana dengan pengawal yang mengunci gerakannya. Dia berteriak ‘sadarlah’ berulang kali padaku tapi aku tidak tahu apa yang dia maksudkan.

“Kau tidak pantas untuk hidup, Yuri. Kau sama sekali tidak pantas. Kau lihat jendela di sebelah sana? itu adalah tempat dimana aku terbiasa menghabiskan waktuku selama mengandung dirimu. Dan sekarang aku menyesalinya.” Wanita itu terus berbicara. Aku mundur. Giginya menyeringai lebar, ia lebih mengerikan daripada nenek bau yang berdiri di sebelah cermin. Aku menangis ketakutan.

Aku ingin sekali bertemu dengan ibuku. Tapi bukan suasana seperti ini yang aku inginkan.

“KAU MEMBUNUHKU YURI! KAU BENAR-BENAR MEMBUNUHKU!”

“TIDAK!” Aku menggelengkan kepalaku, menangis dan meraung. Aku berdiri, namun kakiku bergetar. Melihat bagaimana ibuku sangat marah padaku, membuat napasku tersengal. “Aku menyayangimu, Ibu… bagaimana mungkin aku membunuhmu…” ucapku terbata. Beberapa butir air mata masuk ke dalam mulutku.

“Kau membunuhku. Itu buktinya. Adakah rasa sayang di antara perbuatanmu itu, Yuri?” napasku tertohok mendengar bagaimana wanita itu kini berlinangan air mata. Dadaku sangat sakit. Luhan terus meneriakiku dengan kata ‘sadarlah’, aku tidak ingin mendengarnya.

“Tapi aku benar-benar menyayangimu…” ucapku lemah. “Kalau begitu tunjukkan padaku. Seberapa besar kau menyayangiku, Yuri” nada wanita itu menjadi sangat tegas. Ibuku seperti memarahiku.

“Matilah bersamaku.” Lanjutnya. Aku diam sementara Luhan meronta meneriakkan kata yang selalu sama. Mati? Aku tidak pernah membayangkannya.

“Matilah bersamaku jika kau memang menyayangiku, Yuri.” Wanita itu yang seharusnya menjadi ibu yang katakatanya akan kuturuti, kini memerintahkan aku untuk mati. Aku menyayanginya, tapi aku tidak mau. Ada ayah yang membutuhkan bantuanku. Ada Luhan yang butuh untuk pergi dari istana ini, ada rakyat Neverland yang tidak tahu kebenaran nenek bau di dalam istana. Mereka tidak tahu apa-apa dan mereka ada di dalam lingkaran masalah yang tiba-tiba menjadikan aku sebagai pusatnya.

Namun ketika melihat wajah wanita itu lagi, hatiku mencelos. Dipikirkan dari sudut manapun, aku memang bersalah. Aku membunuh ibuku walau aku tidak pernah melakukannya. Aku merasa tubuhku tiba-tiba hampa. Pandangan mataku menjadi kosong.

Aku membalikkan tubuhku dan berjalan lurus ke arah jendela yang terbuka lebar. Luhan berteriak, aku ingin membalasnya tapi sumpah untuk apapun, mulutku seperti di lem. Tubuhku bergerak dengan sendirinya ke jendela.

“Matilah bersamaku, Yuri.” aku mendengarkan perintah itu lagi dan tubuhku semakin berjalan dengan cepat sampai akhirnya aku tiba di sebuah jendela. Aku memanjat naik ke tembok di jendela itu dan berdiri di kedua ambang pintu jendela. Kakiku mulai melangkah ke depan. Aku bisa melihat dataran tertutup salju di bawah kakiku. Bebatuan juga ada di sana. Aku sekali lagi mengayunkan kakiku ke depan dan aku menutup mata.

Aku tahu apa yang akan terjadi, tapi aku… tidak ingin mati.

-oOo-

Yuri terjatuh. Bukan ke atas tanah seperti yang di harapkan oleh cermin di belakangnya. Dia terjatuh ke belakang, dengan kepala yang mendarat di atas tangan kekar dari seorang Luhan.

Yuri menggeliat, kini tubuhnya sudah bisa digerakkan sebagaimana yang otaknya perintahkan.

“Luhan?” rintihnya. Tubuh gadis itu berdiri pelan. Dilihatnya para prajurit yang sudah tersungkur tidak berdaya di atas tanah. Dan lagi, ia melihat Luhan berdiri dengan pedang entah darimana di tangannya.

Beberapa saat yang lalu, di saat Yuri hampir loncat dari ketinggian via jendela, Luhan menghabisi semua prajurit yang menahan tangannya. Dengan pedang yang ia curi dari beberapa prajurit yang pingsan, kini dengan heroik, ia menyelamatkan gadis itu dengan gerakan cepat.

Luhan menyerahkan pedang itu pada Yuri. “untuk apa?” respon gadis itu. Tanpa perlu dijelaskan, Yuri bisa melihat cermin dengan retakan besar di tengahnya. Dua orang sedang berdiri di sana. Satu ibunya, dan satu refleksi dari dirinya sendiri. Mereka berdua terlihat menyeramkan dengan taring dan mata yang memerah.

“Kau menipuku.” Yuri menggeram, ditatapnya nenek bau yang kini mundur perlahan dari cermin. Yuri menerima pedang dari Luhan dan menggenggamnya erat dengan keduatangannya. Tanpa perlu aba-aba, ia berlari dengan sangat kencang dan menancapkan ujung pedang itu pada cermin di depannya. Cermin itu telah menghipnotisnya jika saja Luhan tidak ada di sana.

Bunyi pecahan terdengar begitu keras. Belum cukup dengan pecahan saja, Yuri menendang cermin itu dan membuat retakan semakin banyak di permukaan cerminnya. Ia sekali lagi menancapkan mata pedangnya di sana.

“Kumohon Yuri… Jangan bunuh aku…” Yuri mendengarkan suara wanita yang memohon dari dalam cermin. Tapi kali ini ia tidak akan tertipu lagi. Yuri mengerahkan seluruh tenaga yang ia punya untuk mengangkat cermin itu. Ia membantingnya begitu menemukan kesempatan. Singkatnya, cermin itu kini sudah tidak berbentuk.

Di antara reruntuhan cermin, Yuri menemukan sebuah mahkotanya kembali. Ia memungutnya dan memegangnya dengan penuh kerinduan.

“Kau pikir kau menang, Nona muda?” tawa melengking dari seorang nenek bau kini terdengar dari sudut. Nenek itu sudah tidak menggunakan tongkat di tubuhnya, sebagai gantinya, ia menggunakan pedang lebih besar.

Mata pedang itu terarah pada peti mati yang teronggok di sudut. Tempat dimana Ayah Yuri –yang sebenarnya masih hidup, terbaring di sana.

“Lepaskan pedang busukmu dari tubuh ayah.” Ucap Yuri. Nenek itu melengking dalam tawanya. Ia melakukan sedikit penawaran. “Serahkan tubuhmu dengan sukarela, dan aku akan memberikan ayahmu.”

“Apa maksudmu? Menyerahkan tubuhku?”

“seperti yang kau lihat, Aku sudah sangat tua dan bau. Aku menginginkan tubuh itu. Aku menginginkanmu.”

Yuri menelan ludahnya ketika melihat mata pedang menggores permukaan kulit ayahnya. “bagaimana…?” tawar nenek itu lagi. Luhan menatap yuri enggan. Beberapa kali pria itu berbisik agar dia tidak boeh menyetujui tawaran nenek itu.

“Baiklah.” Yuri mantap. Tidak mengindahkan sama sekali apa yang dikatakan Luhan. Yuri melepaskan pedang yang digenggamnya kemudian berjalan pelan mendekati nenek tua itu.

“Bangunkan dulu Ayah dari tidurnya, maka aku akan berjalan lebih dekat.” Yuri melakukan negosiasi. Tanpa pikir panjang, nenek tua itu menyetujuinya. Ia mengeluarkan sebuah cairan biru pekat di dalam botol kecil dan menuangkannya di seluruh tubuh William.

Tubuh Pria itu menggeliat lemah. “Biarkan pria ini berdiri di dekat peti itu agar aku tahu kau tidak bermain curang.” Yuri lagi-lagi memberikan penawaran. Charlotte terlihat ragu sebelum akhirnya memutuskan untuk setuju. Dengan begitu, Luhan berdiri di sisi peti dan menjaga William sampai ia benar-benar sadar.

“Aku sudah melakukan semuanya, sekarang mendekatlah padaku.” Yuri menelan ludahnya. Ia berjalan lebih dekat pada Charlotte dengan hati-hati. Ketika ia akhirnya sampai tepat di depan batang hidung wanita tua itu. Yuri merasakan tubuhnya lemas hanya dengan menghirup aroma amis nenek itu. Dia tidak pernah sedekat ini dengan Charlotte sebelumnya.

Charlotte mencengkram kuat lengan gadis itu sehingga darah mengalir keluar dari tubuhnya. Mulut Yuri membuka lebar seiring dengan teriakan kesakitan yang ia keluarkan. Charlotte juga membuka mulutnya, bukan karena sakit, tapi karena ia menghisap sedikit demi sedikit cahaya dari wanita cantik di depannya.

Dalam beberapa detik saja, wajah Yuri menjadi keriput, kulitnya menjadi gembur layaknya seorang nenek tua. Ditambah perubahan yang terjadi di tulang punggungnya. Yuri terlihat lebih bungkuk.

Luhan tidak tinggal diam. Ia mencoba mengambil pedang yang nenek tua itu jatuhkan dengan hati-hati, tanpa suara. Meninggalkan pria yang mulai sadar di peti, Luhan menganggu prosesi yang dilakukan Charlotte. Ia menusuk Charlotte dari samping dan membuat Yuri terlepas dari wanita itu.

Yuri terbatuk di atas lantai. Tubuhnya lemas, kulitnya mengendur. Ia bahkan tidak bisa berdiri kali ini. dilihatnya Luhan dengan pedang terhunus dan seorang wanita muda yang tidak ia kenali.

Yuri melihat teliti dan menemukan Charlotte yang sudah berubah menjadi lebih muda dan cantik di sana, meskipun kaki dan tangannya masih keriput.

Charlotte marah besar. Ia menggunakan kuku panjangnya untuk melukai Luhan. Tapi Luhan cukup cerdik dalam menghindar. Sebagai gantinya, kuku-kuku tersebut patah oleh tebasan pedang Luhan. Charlotte tidak berhenti di sana, di raihnya pecahan kaca yang ada di sekitarnya dan menebaskannya pada pundak Luhan. Luhan telat untuk menghindar, darah mengucur dari bahunya.

Yuri mencoba mendiri dan berkeinginan untuk membantu, tapi dia kembali terduduk karena lemas.

Luhan tidak membuang waktu. Ia kembali menyerang Charlotte, namun langkahnya terselip sebuah kaca yang terinjaknya. Tubuh Luhan terjatuh, ia berpisah dari pedangnya. Charlotte memanfaatkan kesempatan dengan memungut pedang tersebut.

Ia berdiri di hadapan tubuh Luhan yang terguling di undakan dekat singgasana. Saat wajah pria itu menghadap ke langit-langit, Charlotte menghunuskan pedang di lehernya.

Dalam diam, tangan Luhan meraih pecahan kaca yang paling besar di dekatnya. Ketka Charlotte menyeringai dan menusukkan benda itu pada lehernya, Luhan melemparkan pecahan kaca tersebut kuat-kuat ke arah mata wanita itu.

Charlotte berteriak kesakitan sementara Luhan yang masih bisa berdiri kini menarik pedang yang ada di lehernya. Ia berjalan beberapa langkah kemudian menujamkan pedang itu ke perut Charlotte. Tidak cukup sekali, ia menarik pedang itu dan kembali menujamkannya di dada wanita itu.

Charlotte melengking kesakitan. Tubuhnya kini berubah menjadi lebih keriput. Kekuatan yang ia hisap dari Yuri kini memudar, kembali ke pemiliknya.

Luhan terjatuh, ia tidak sanggup menahan darah yang terus mengucur di lehernya. Ia tersengal.

Yuri melihat bagaimana pria di depannya sekarat. Ia merangkak, meraih tubuh pria itu dengan kekuatannya yang belum pulih. Yuri menyangga kepala Luhan hati-hati. Dadanya sesak dan ia tidak tahu kenapa buliran bening jatuh dari pelupuk matanya.

“M-Maafkan aku..” ucap Yuri terbata. Luhan, pria itu hanya diam, bibirnya bergerak namun suaranya sudah tidak keluar. Untuk beberapa menit ke depan, Yuri hanya bisa melihat pria itu berubah menjadi pendiam. Tubuhnya dipenuhi dengan darah dan Yuri jatuh dalam linangan air mata yang tidak terbendung.

“Luhan… kau tidak boleh mati…” bisik Yuri pelan. Mata gadis itu terpejam. Lengkingan dari nenek tua dan tangisan kepedihan dirinya kini sudah tidak terdengar lagi. Yuri memilih tidak sadarkan diri daripada menangis.

-oOo-

“Luhan?” Aku memekik girang ketika melihat seorang datang dengan kuda putih yang indah. Pria itu Luhan. Tubuhnya basah kuyup setelah sebelumnya tercebur ke dalam rawa dengan buaya. Ia selamat dan kini kami berada di satu ruangan hampa serba putih. Luhan turun dari kudanya dan berjalan pelan dengan tertatih.

“Kemarau, aku kehausan, bisa kau memberiku air? Aku akan memberimu cinta…”

AH!

Mimpi itu lagi. aku mengelap keringat di dahiku dengan cepat. Beberapa dayang kini mengipasiku dan mengambil segelas air minum untukku. Aku meminumnya dengan cepat kemudian menyentuh wajahku sendiri. Semua baik-baik saja, aku tidak berubah menjadi nenek tua.

“Dimana Ayah? Dimana aku?” aku histeris, bertanya. Tiba-tiba satu orang bertubuh jangkung dengan mahkota di kepalanya datang padaku. Itu ayah dan dia masih hidup.

“Ayah!” aku memekik. Aku berdiri dan menyambutnya dengan pelukan. Bersyukur aku masih bisa melihat tubuhnya yang besar ada di depanku. Pria itu menepuknepuk pundakku sambil berulang kali meminta maaf dan berterima kasih.

“Charlotte sudah tewas. Kau tidak perlu takut lagi. Maafkan ayah.” Ujarnya.

Tapi tunggu, jika Charlotte tewas… maka…

“Luhan, pria itu sudah dikembalikan ke tempat asalnya di Dreamland.”

“Mereka menguburkannya di sana?” aku bertanya.

“dikubur? Siapa?” Ayah malah bertanya padaku.

“Luhan. Bukankah dia sudah..”

“dia selamat, tabib istana cukup baik menangani luka di lehernya.” Ucap Ayah. Aku memekik girang di dalam pelukannya seperti anak kecil. Ayah tertawa atas reaksiku. Sebagai informasi, aku tidak pernah segirang ini.

“Aku akan mengulang kembali pesta ulang tahunmu yang rusak total. Kuharap kau tidak keberatan.” Ucap Ayahku lagi. aku mengangguk setuju. “Apa kau akan mengundang kerajaan Dreamland?” tanyaku.

Ayah mencubit hidungku. Aku memajukan bibirku. “tentu saja. Tapi aku tidak akan mengundang seorang kurir. Meskipun ia termasuk pria yang menyelamatkanmu.”

“Ayah…” aku memprotes. Tapi ayahku menepuk pundakku beberapa kali. “Yuri, kau adalah Puteri dari kerajaan ini. Kau berbeda kasta dengan pria itu. maafkan aku, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk hal seperti ini. Saranku, lupakanlah pria itu.”

Ayah tersenyum dan menepuk kepalaku. Aku tidak ingin mengganggu momen berhargaku dengan ayah hanya karena rengekan kecilku. Tepat setelah ia pergi, aku merasa hampa. Hatiku sakit. Kalimat ayah seperti pedang tajam yang menggoreskan luka di hatiku. Mungkin setelah kejadian ini, aku tidak akan pernah bertemu dengan Luhan seumur hidupku. Entah kenapa itu sangat sakit.

Apa aku telah jatuh cinta padanya?

-oOo-

Pesta baru saja dimulai. Semua bersuka cita berdansa ke sana dan kemari. Aku memenuhi keinginan ayah dengan berpidato tentang bagaimana aku menemukan mahkotaku. Aku tidak menyembunyikan bagian dimana seorang kurir kerajaan lain menyelamatkanku. Aku bercerita semuanya.

Setelah meniup lilin di atas kue ulang tahun yang cukup besar. Aku berjalan ke balkon yang sudah diperbarui. Catnya berwarna peach dengan lampu-lampu di sekitar tiangnya. Aku menghela napasku. Pesta ini cukup meriah dan lebih baik daripada pesta yang sudah-sudah. Namun aku merasa ada yang kurang dari pesta ini.

Mungkin Luhan.

“Permisi, kau memiliki paket.” Aku dikagetkan dengan seorang kurir yang datang padaku. Kukira itu Luhan, tapi hanya dari perawakannya saja, aku yakin itu bukan. Aku berterima kasih pada kurir itu dan membuka hadiah yang disampaikannya padaku. Sebuah cincin.

“kenapa semua hadiah hanya berisi cincin.” Aku mengeluh. Aku memandangi sebuah cincin yang sudah tersemat terlebih dahulu di jariku. Meskipun itu bukan dari Luhan, tapi setidaknya Luhan pernah mengatarkannya padaku.

Tunggu. Kenapa aku ini? kenapa hanya Luhan yang ada di otakku?

Aku berjalan meninggalkan balkon. Melihat ada sederet kue-kue kecil di meja panjang, aku berhenti di sana. Mengambil sebuah cupcakes mini adalah pilihanku. Aku memakannya dengan tidak bergairah. Seorang berseragam kerajaan datang padaku dan memberikan sebuah paket. Aku berterima kasih padanya dan membuka kotak itu.

“cincin lagi? yang benar saja…” Aku menggumam rendah. Aku tidak tahu darimana para kurir itu berasal namun mereka memberikan cincin yang sama dengan yang diberikan kurir sebelumnya. Aku memandangi cincin pemberian itu “apakah ini sedang menjadi tren?”

Aku menggeleng dan menghabiskan kueku di saat kurir lain memberikanku paket yang sama. Kejadian itu terus berulang hingga aku mendapatkan 6 cincin yang sama persis. Aku membuang kotaknya dan hanya membawa cincin-cincin itu bersamaku.

Aku membawanya dengan heran dan mencoba berjalan pada Ayah. Aku harap dia mengerti dari mana kurir-kurir itu berasal.

Sebuah cincin terjatuh dan berputar di atas lantai dansa. Aku memungutnya dengan cepat sebelum benda itu terinjak. Tepat saat aku akan menaruhnya di kantung gaunku, aku melihat ukiran huruf ‘U’ di permukaan cincin tersebut.

Aku mundur dari lantai dansa, pergi kembali ke balkon yang memiliki suasana lebih tenang. Aku mengambil keseluruhan 6 cincin itu dan melihat apa yang terukir di benda-benda itu satu per satu.

“L, V, E, I, O, U? Apa maksudnya?” Aku mengernyitkan dahi. Tulisan itu tidak bisa disusun. Kemudian aku mencoba menyusunnya secara acak. “I,L,O,V,E,U…? I LOVE U?”

“Bahasa mana itu?” aku mengumpat kesal karena tidak dapat mencerna kalimat yang barusaja aku temukan. Aku diam, mengetukkan kakiku di atas lantai dan memandangi cincin yang kuderetkan di tembok balkon sebatas pinggangku itu.

“I love u, bahasa dalam kerajaan inggris yang artinya aku cinta padamu…” Sebuah suara berbisik di telingaku. Tangan-tangan besar kini memeluk pinggangku. Aku tidak yakin aku baik-baik saja, dadaku berdegup kencang ketika aku memutar tubuhku. Aku menatap wajahnya dengan baik-baik.

“Luhan?”

Pria di depanku tersenyum. Aku melihat mahkota di atas kepalanya. Sebentar… mahkota?

“k-kau…”

“maaf aku menipumu.” Dia menorehkan sebuah senyuman lebar. Tangannya masih melingkari tubuhku. Jarak kami terlalu dekat hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.

“kau bukan kurir?” ia menggeleng. “kau seorang pangeran?” tanyaku lagi. dan ia mengangguk.

“kenapa kau mengaku sebagai kurir padaku dan mengenakan semua baju kurir itu?” Luhan tertawa.

“Ibuku menjodohkanmu denganmu. Aku pergi kesini mengecek sendiri wanita yang akan menjadi istriku dengan menyamar sebagai kurir. Berita tentang kecantikanmu sudah tersebar di seluruh kerajaan, tapi tidak ada seorangpun yang melihat wajahmu. Jadi aku kesini atas ijin dari ayahmu sebelumnya…”

Aku menutup mulutku, menahan pekikan suaraku. “Jadi ayah tahu?” tanyaku. Luhan mengangguk.

“dan ia menyetujui pernikahanku denganmu.” tambahnya. Aku semakin memekik. “Kita akan menikah?”

Luhan mengangguk kembali, kali ini dengan tawa yang lebih mengembang. Aku memeluknya dengan kencang sampai ia merintih tentang tenggorokannya yang masih terluka. Aku tertawa namun aku tidak ingin melepaskannya begitu saja. Pria ini terlalu berharga untuk aku abaikan dalam satu detikpun.

Aku merasakan tangan besar Luhan menggapai kepalaku. Suara riuh tepuk tangan entah sejak kapan ada di depanku. Ayah berdiri di pintu balkon dan menatapku dengan gembira. Aku belum pernah melihatnya sesenang hari ini. Kembang api besar terlihat di udara. Lampu di seluruh kerajaan yang bisa terlihat dari tempatku berdiri kini berkelap-kelip. Bahkan sebagian membentuk kata I Love U.

Aku menatap Luhan. “Kau yang merencanakan ini?”

Luhan tertawa. “Tentu saja. Siapa lagi yang dapat melakukan ini selain aku, Tuan Puteri?” Luhan menggodaku. Aku memukul dadanya pelan. Dia terlalu manis. Luhan meraih tanganku sementara ia bertekuk lutut di depan gaun yang kupakai.

Ia menciumi punggung tanganku dengan lembut, layaknya seorang pangeran sebenarnya.

“Aku akan membuat ini resmi..” Luhan menarik cincin yang sudah terpasang di jemariku. Ia membawanya di telapak tangannya sementara ia masih berlutut. “Maukah kau menikah denganku, Tuan Puteri?”

Kembang api masih meluncur di atas langit. Aku tersenyum pada pria yang masih tertunduk berlutut di depanku. Aku menekuk lututku agar sejajar dengan pria itu. Aku menyentuh dagunya dan mencium bibirnya lembut.

Aku tersenyum. “Ya, aku mau.”

Pria itu berdiri dan mengangkat tubuhku. Kembang api semakin deras meluncur menghiasi langit malam. Ayahku mengerling dari tempatnya berdiri, ia tertawa senang. Mahkotaku kini berkilauan diterpa cahaya dari kembang api. Aku menatap pria yang menggendongku ala bridal itu. ia mencium bibirku.

Aku tersenyum dalam setiap kecupan yang ia berikan. Bibirku bergerak, membentuk kalimat pendek.

“Aku mencintaimu, Luhan. Aku mencintaimu.”

-oOo-

Romeo take me somewhere, we can be alone.
I’ll be waiting; all there’s left to do is run.
You’ll be the prince and I’ll be the princess,
It’s a love story, baby, just say yes.

 

.

.

.

YEAY~ Ini chapter ke-8 akhirnya~~ sempat hopeless pas aku stuck di sini. kkk~ tapi akhirnya kegalauan karena gak bisa nonton GG Tour malah memberiku ide buat FF ini. /ganyambung/

ini agak-agak gak nyambung sih sama lagunya. tapi whatever lah. udah sedikit mules mikirin FF ini. kkk~

Selanjutnya harap masih bisa bertahan di blog aku ya. Karena exoyul Chanyeol dan Yuri Version akan hadir~~

oh iya untuk yang udah komentar di FF aku yang lain, pasti akan aku balas kok. Biasanya aku balesnya sekalian sama balesin yang lain. Jadi mohon maklum.

Lalu kalau di twitter yang memang aku gak sempat bales mentionnya, kemungkinannya ada 2 :

1. Mention kamu tenggelam alias ga masuk ke twitter aku.

2. Aku belum sempet bales.

jadi mohon dimaklumi. Aku lagi rajin-rajinnya nge draft nih. hahaha XD. Jadi aku on twiter itu cuma buat nyari pencerahan kalau aku lagi stuck di momen FF tertentu. kkk~

mohon dimaklumi. weeh panjang aja ini katakata penutup. yasudalah. Sekian.

Nb : YANG NONTON GGTOUR BAGI FOTONYA YURI DONG!!!

94 tanggapan untuk “Love Story – [EXOYUL Series]

  1. Ya ampun kasian banget Yuleon nggak boleh keluar dari kerajaan sampai dia berumur 23 tahunn.. 😮
    Dan disaat dia udah bisa keluar, terjadi peperangan di acara ultahnya.
    Miris sekali,,
    Tapi akhirnya happy endibg juga ceritanyaa 😀
    YulHan jjang!!
    Ohh, ternyata Luhan itu seorang prince yg menyamar jadi kurir untuk melihat calon istri nya..
    So sweet…
    Ditunggu karya2 yg lainnya eonn, Fighting!! ^^

  2. terharu dengan endingnya. Gak nyangka kalau ternyata luhan itu seorang pangeran. dan yg pling penting kalau luhan gak mati. aku nangis pas baca part luhan yang sekarat dan aku kra luhan nya mati. T,T kerennnn… jempol deh buat author. Nyesal knp baru nemu blog ini skrg jd maaf kalau komenan ku basi. hehe

  3. Aku kira Luhan beneran kurir trus dia mati juga (?)
    .
    Pas bagian ‘I Love U’ aku langsung keingat sama Jodha Akbar masa :’v

  4. Wahahaha ini beneran kaya dongeng anak-anak tapi dalam versi lebih keren XD entah kenapa aku udah yakin kalo luhan bukan kurir *iyalah kurir mana yang bisa seganteng luhan XD hahaha suka banget deh 😀

  5. iseng2 search google n main k blog ini akhirnya nemuin ff ini…izin baca2 nde
    ff nya bikin dag dig dug, sudah diduga kalo luhan itu seorang pangeran…..cerita ini kyak dongeng ya???ceritanya soswetttttt
    izin baca yg lain…tapi sreknya sama luhan n sehun sihhh, klo bukan mereka main castnya pasti gk tertarikbuat baca (mianhae)

  6. Aw~aw~aw so sweet kak nyuun 😀 ,,tebakan ane benar kalo Luhan adalah pangeran 😀 ,berasa nonton barbie di tv 😀 ,di tunggu karya~karya lainnya 🙂

  7. Romantis bnget😍.Luhan gentle bnget ceritanya dsini:D .Kirain tadinya luhan bklan tewas:3 ehhh happy ending yeayyy😙💑

  8. Aaaaaa romantisnyaaaa, kirain luhan mati loh kak nyun, haduuhh terus agak kepikiran kalo luhan itu sebenarnya bukan kurir sih, eh tau tau beneran. Pake ngirim cicin i love u lagi. Aarrrggghhh

Tinggalkan Balasan ke bapkyr Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.