E – From ILOVEU Series

e-bapky2r-rq-copy-copy1

Here we are~~~~ The 5th Series of ILOVEU

Title : E

Main Cast : Kwon Yuri – BAP Himchan

Genre : Angst

Length : Ficlet [with a lil bit longer words inside]

I just Own the plot and idea. Do not plagiarism.

Thanks to banana for the awesome poster.

***

Aku menoleh ke atas, memandang salju yang kian memutih. Dinginnya menembus raga seakan masuk dan bersemayam di balik bungkus kulit putih pucatku. Sesekali dalam rentang waktu 5 detik, aku melakukan penindaian sederhana pada tembok besar yang berdiri kokoh di sisi kanan dari tubuhku. Warna tembok itu sudah memudar seiring dengan banyaknya jamur yang tumbuh liar di sana. Yang kulakukan hanya memandang jamur itu sambil memasang telingaku baik-baik –Barangkali aku mendengar sesuatu.

Menit berlalu, yang kutatap hanya benda mati. Mataku perih.

Suara berisik terdengar dalam menit selanjutnya, aku menoleh kembali pada tembok rapuh itu. Suara dari benda keras yang beradu dengan batu granit. Bersamaan dengan itu, gumaman sederhana terdengar pelan, menimbulkan energi positif aneh pada psikisku.

“Menjatuhkan sesuatu, Yuri?” Aku bertanya pada si pembuat suara gaduh, mengajak seorang gadis yang duduk di balik tembok besar rapuh itu bicara –seperti yang biasa kulakukan. Lembut, hanya itu yang kupikirkan ketika aku mendengar suara dari si gadis yang tertawa kecil.

“Aku menjatuhkan harmonikaku, Himchan-ah.”

Aku menggeleng, menarik kursiku mendekat pada tembok. Kuketuk tembok itu beberapa kali, kurasakan sakit pada buku-buku jariku. Tapi kuakui itu menyenangkan. Tembok yang memisahkan aku dan gadis itu tidak cukup kuat untuk menghalangi kami berbicara. Kami duduk di kolong langit; halaman belakang rumah masing-masing; dipisahkan tembok kuat yang terlihat rapuh.

Aku dan Yuri sudah mengenal cukup lama. Tepatnya ketika aku menjamah halaman belakang rumahku sejak 1 tahun lalu. Setiap hari –di setiap kesempatan yang ada, kami mengobrol di sana. tanpa melihat wajah satu sama lain. Hanya mendengar.

“Masih membawa harmonika suara sumbang itu?” Tanyaku –sedikit mengolok.

“Tidak pernah sekalipun kutinggalkan.” Balas gadis itu dengan lugas. Selang beberapa detik ia terkekeh. Kudengar suara kresek singkat disusul suara tiupan sederhana dari harmonika. Sumbang. Itu yang pertama kali terlintas di kepalaku. Pernah kutanyakan pada Yuri kenapa ia menyukai harmonika bersuara sumbang.

“Sumbang itu belum sempurna, ketidaksempurnaan itu aku.” Balasnya tatkala aku bertanya.

Aku tidak mempersoalkan suara harmonika sumbang yang aku dengar dari balik tembok itu setiap hari. Mendengar harmonika sama saja mendapatkan suara indah Yuri, dan itu setimpal buatku.

Pernah satu waktu aku mengajaknya keluar dari rumah, bertemu dan berkenalan dengan normal –sebagaimana makhluk sosialis yang lain. Tapi dia menolak. Mengatakan bahwa ia tidak sempurna adalah sebuah alasan yang kupertanyakan.

“Aku tidak bisa melihat. Aku tidak bisa berjalan. Aku cacat.”

Kalimat singkat itu baru kudengar dalam sebulan terakhir. Dan sejak saat itu aku tahu kenapa dia tidak pernah keluar dari rumahnya.

“Himchan, seharusnya kau bersekolah hari ini, bukan?”

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku melupakan sekolah –lagi.

“Ah.. sekolah diliburkan.” Aku segera menutup mulutku sambil mengutuk lidahku sendiri. Aku dengar suara harmonika yang ditaruh pada sebuah meja. Kemudian helaan napas yang sangat panjang.

“Kau bolos lagi?” Balas lembut Yuri. Aku menggigit lidahku. Memberi gadis itu keheningan yang lumayan panjang.

“Kau tidak akan pernah lulus dari sekolah kalau begini caramu.” Suara berdecit terdengar, aku mendengar suara roda; disusul dengan suara ketukan pada tembok beberapa kali. Yuri berusaha memanggilku untuk bicara.

“Aku… sudah menyerah pada sekolah.” Ucapku terbata, ragu.

Yuri berhenti mengetuk pada tembok itu. menunggu waktu yang tepat agar ia bisa masuk kembali dalam dialog. Aku hanya diam, aku tidak punya alasan tepat kenapa aku mau mendengarkan gadis itu.

“Apa karena hal itu?” Tanyanya. Aku menggangguk. Kulanjutkan dengan berkata ‘ya’ karena aku merasa bodoh untuk mengangguk pada tembok.

“Menjadi seorang anak kriminal… siapa yang mau hal itu terjadi pada diri mereka? Itu bukan salahmu, Himchan. Kau hanya harus berbaur.”

“Aku mencobanya sekali, dan esoknya mereka mengatakan aku gila.” Aku melakukan pembelaan. Aku mendengar ketukan berkali-kali pada meja kayu. Suara ringan seperti jari-jari yang menari di sana.

“Kau baru mencoba sekali. Galileo saja harus mencoba berjuta kali demi penemuannya. Kau merasa lebih pintar darinya dengan mencoba hanya sekali, dan menyerah?”

Wajahku memerah. Aku seperti ditampar. Selain menggumam rendah pada diriku sendiri, aku tidak melakukan apapun.

Kutatap tanah yang tertutup habis dengan salju. Kujejalkan kakiku beberapa kali di sana, membuat jejak-jejak putus asa.

Masih menunduk, aku berbicara singkat. Melakukan sedikit counter attack.

“Bagaimana dengan dirimu? Wanita putus asa yang mengasingkan diri karena kekurangannya? Bahkan Beethoven yang tuli saja masih berkarya –tidak pernah menyerah.”

Aku diam, menunggu respon dari gadis di seberang tembok sana. Aku merapikan diriku sendiri, membenarkan posisiku yang terduduk dan hal-hal teknis lain. Aku merasa lidahku terlalu banyak bicara hari ini. Aku keterlaluan.

“M-maaf…” Ucapku terbata ketika aku tidak menemukan respon dari gadis itu. Aku masih mendengar suara napas kedinginan di balik tembok, tapi ia tidak berbicara sama sekali.

“Kau benar tentang aku. Sedikit dari itu… Kau benar, Himchan…” Ia berbicara rendah. Suara dengusan napas itu menjadi sangat berat, aku bisa mendengar roda bergerak menjauh. Gadis itu mungkin membawa ia dan kursi rodanya pergi dari dekat tembok.

“…Tapi satu hal yang perlu kau tahu… Karya Beethoven dihargai justru setelah ia meninggal.”

Decitan roda hilang sepenuhnya dari pendengaranku. Aku mencengkram pegangan kursi besi dengan keras. Dingin.

Aku bergumam rendah pada diriku sendiri.

“Himchan… Seharusnya kau tidak mengatakan apapun.”

-oOo-

“Yuri… mengenai hari itu… tentang Beethoven…”

“Aku tidak mau mendengar topik itu. Anggap saja kita tidak pernah bicara hari itu.”

Aku menggoyangkan kakiku. Sedikit canggung. Kurapatkan mantel tebal yang kini menyelimuti seluruh tubuhku dengan kuat. Kadang perasaan seperti ‘apakah Yuri menggunakan mantelnya?’ atau ‘Apakah Yuri kedinginan?’ bergelayut di otakku.

Namun siapalah aku ini baginya. Meski aku mencintainya. Tapi aku tidak dapat melakukan apapun dengan hal itu. Bahkan aku tidak yakin ini cinta. Jika perasaan rindu akan suara Yuri, sedih ketika Yuri tidak bicara di balik tembok dan Senang ketika mendengar suara gadis itu di definisikan sebagai rasa cinta… maka, Ya. Mungkin aku mencintainya.

“Himchan, sudah berapa bulan kita bicara seperti ini?” Gadis itu bertanya rendah. Aku menghitung dan berpikir.

“13 bulan kurasa, Yuri. Kenapa? Sesuatu mengganggumu?” Aku bersandar lemah pada kursi besi dinginku saat ini.

“Tidak, hanya saja… Aku merasa kita semakin jauh. Ada lubang menganga di antara kita.” Aku berpikir sebentar, mencerna kata-kata Yuri.

“Jika maksudmu lubang itu seperti tembok besar yang ada di antara kita, maka aku sependapat.” Yuri terkekeh ringan, aku mendengarnya dengan geli.

“Bukan itu maksudku. Aku berpikir, jika suatu hari kau menemukan wanita yang kau cintai, kau menikah dan memiliki anak… Apa yang terjadi denganku saat itu?”

Suara gadis itu memelan, hampir berbisik. Aku tersenyum diam-diam, mengontrol rasa bahagia aneh yang meluap.

“Kalau begitu jadilah wanita itu.”

“Wanita apa?”

“Wanita yang menikahiku.”

Aku mendengar suara tawa lembut dari gadis di seberang tembok. Ia menertawai sesuatu yang sebenarnya kukatakan dengan jujur.

“Aku ingin. Tapi aku tidak bisa.” Jawabnya.

“Kenapa?” Aku mencecar gadis itu dengan pertanyaan.

“Karena aku cacat.”

“Aku tidak masalah.”

“…aku juga tidak bisa melihat.”

“Aku tidak melihat wanita secara fisik. Aku melihat hatinya.”

“…..”

Yuri berhenti bicara. Salju turun dengan deras. Aku merapatkan mantelku hingga kain tebal itu tidak memiliki celah barang sedikitpun. Salju bersemayam dengan aman di topi rajut yang kupakai. Aku menunggu jawaban.

Kudengar gadis itu mulai bergumam rendah. Suaranya berbisik, nadanya parau. Aku bisa menebak kalau dia seperti menahan sesuatu di tenggorokannya. Ia tercekat.

“Tapi aku tidak memiliki hati, Himchan…”

-oOo-

“Tapi aku tidak memiliki hati, Himchan…”

Aku mengerutkan dahiku di depan sebuah cermin besar. Kalimat Yuri kemarin malam masih terbayang dengan lekat dalam ingatanku. Tidak ada yang aneh dalam kalimatnya, hanya saja aku merasa janggal.

Yuri adalah gadis yang cukup bijak. Ia tahu mana yang harus ia katakan dengan gamblang dan mana yang harus ia simpan dalam kemisteriusan.

Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, wajahku dibasuh dengan air hangat dari kran. Aku mengeringkannya dengan handuk dan berjalan keluar dari kamar mandi.

Rumahku masih sangat kosong. Aku tinggal sendirian di sana, tanpa keluarga. Aku masih memiliki Ibu. Namun mentalnya agak terganggu sejak Ayah divonis sebagai pesakitan. Ia hidup dengan tenang di dalam sebuah yayasan kesehatan mental.

Aku pergi ke halaman depan. Masih pagi, namun salju bekas tadi malam masih berkumpul di jalanan utama. Aku tidak melihat aspal yang seharusnya ada di sana. Mobil dari polisi lokal belum menyapu salju dari jalanan, aku tidak dapat keluar dengan mobilku.

Aku kembali masuk ke dalam rumah, namun sedikit melirik pada rumah bercat coklat di sebelahku. Rumah yang didiami Yuri.

Aku sering melihat sepasang suami istri masuk dan keluar lewat pintu depan rumah itu, namun tidak sekalipun mereka membawa Yuri bersamanya.

Mungkin tepat seperti apa yang dikatakan Yuri padaku, bahwa mereka –kedua orang tua Yuri, cukup malu dengan kecacatan fisik pada gadis itu. Membiarkannya di rumah adalah satu-satunya pilihan.

Aku pun tidak pernah menyapa dua orang itu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum jika kebetulan mata kami bertemu. Yuri melarangnya, ia mengatakan bahwa orangtua nya adalah orang yang tidak pandai bergaul.

Aku baru saja akan masuk ke dalam rumah ketika aku melihat sepasang suami istri itu mengeluarkan kardus-kardus kecil dari dalam rumahnya. Mereka menjejerkan kardus coklat itu di depan rumah, kemudian mengangkutnya perlahan pada mobil kecil yang terparkir di pelataran rumah.

“Tunggu sampai mereka membersihkan salju di jalanan, baru kita pindahkan ini.”

Pria berkumis sedang bicara pada seorang wanita pendek di sebelahnya. Tuan dan Nyonya Kwon. Aku hanya mencuri dengar sedikit kemudian kembali masuk ke dalam rumah tanpa curiga.

-oOo-

“Yuri, apa sesuatu terjadi dengan kedua orangtuamu?” Aku bertanya ketika senja sudah tenggelam. Aku duduk di dalam kedinginan yang parah. Yuri tidak datang di balik dinding senja tadi, sehingga aku harus menunggu hingga senja benar-benar redup. Artinya, aku sudah hampir membeku selama 1 jam.

“Ada apa dengan mereka?”

Yuri balik bertanya. Aku bingung.

“Mereka mengeluarkan kardus-kardus dari dalam rumah dan mengangkutnya dengan mobil. Apa yang terjadi?”

“Ah~ mereka membuang barang-barangku yang sudah tidak berguna. Rumahku cukup sempit untuk menaruh semua barang itu.”

“Kau membuang harmonikamu juga?”

“Tidak. Tidak akan pernah kubuang benda ini.”

Aku terdiam kemudian terkekeh. Seperti ada yang salah dalam percakapan ini.

“Himchan, Kau percaya aku buta dan cacat?” Ia bertanya.

“Tentu saja. Kau mengatakannya.”

“Apa kau tidak pernah sekalipun berpikir jika saja aku berbohong?”

“Tidak sama sekali. Aku percaya apapun yang kau katakan.”

Kami diam. Merenung.

“Kau percaya pada Harapan?” gadis itu bertanya di saat aku memilih diam.

“Aku… percaya. Tentu saja” jawabku mantap. “Bagaimana denganmu, Yuri?” Lanjutku.

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Harapan itu hanya untuk mereka percaya dan memiliki hati yang kuat. Aku mungkin percaya, tapi aku tidak memiliki hati yang kuat.” Jelasnya. Aku mendesah, tidak mengerti apa yang gadis itu coba beritahu padaku.

“Semua orang punya hati yang kuat. Kau juga. Kau hanya perlu berusaha.” Jawabku, bijak.

“Aku sudah lama kehilangan harapan. Aku sudah tidak memiliki hati lagi.”

Aku mencoba mendebat. “Tidak ada satu manusia pun yang diciptakan tanpa emosi di dalam hatinya. Kau bukan gadis yang dingin. Kau memiliki hati yang baik—“

“Himchan…” Gadis itu memotong kalimatku yang belum selesai. “… yang kau katakan adalah bagaimana memiliki hati secara psikis. Yang aku coba katakan adalah… Bagaimana rasanya tidak memiliki hati secara fisik.”

-oOo-

Malam natal. Aku duduk di halaman belakang rumahku –menunggu sesuatu. Kuketukkan buku-buku jariku di dinding. Namun tidak ada jawaban. Aku mencoba menggunakan kursiku dan mengintip dari atas tembok. Kosong.

Tidak ada orang sama sekali di sana.

Aku cukup frustasi ketika lonceng bahagia berbunyi di seluruh jalanan. St. Claus dengan baju merahnya berjalan berarakan melewati depan rumahku dengan anak-anak kecil. Ia menyebarkan permen di jalanan.

Aku masuk ke dalam rumah, dan mengintip keluar dari jendela. Melakukan keisengan dengan menatap St. Claus itu.

Sepasang wanita dan pria berlalu lalang di depanku. Yang aku tahu, mereka adalah orang tua dari Yuri. Mereka membawa sebuah truk besar di belakang mobilnya, dan mulai memasukkan kardus-kardus kecil hingga yang besar ke dalam truk itu.

Aku cukup penasaran.

Aku membuka pintu dan mencari barangkali aku menemukan Yuri di antara mereka. Aku berlari ketika Nyonya Kwon mengangkat sebuah kursi roda ke dalam mobilnya. Aku menghampiri wanita itu.

Tuan Kwon datang dengan tergesa-gesa, mencoba menjauhkan tubuh istrinya dari aku. Seperti aku adalah sesuatu yang salah.

“Ada yang bisa kami bantu?” Tanya Tuan Kwon padaku. Nyonya Kwon bersembunyi di balik tubuh pria besar itu dan membawa kursi roda itu masuk ke sebuah mobil kecil.

“Ma-Maaf sebelumnya… Kalian tidak perlu ketakutan seperti ini melihatku. Yang kriminal adalah ayahku, bukan aku.” Aku menjawab kalau-kalau mereka bertindak aneh karena latar belakang keluargaku. Tapi sepasang suami istri itu menggeleng.

“Bagian itu, bukan masalah buat kami.”

“Syukurlah…” Aku menghela napas, namun ketakutan dari mata Nyonya Kwon sepertinya belum hilang sepenuhnya. “Apa kalian akan pindah rumah?” Tanyaku –mengabaikan bagaimana Tuan dan Nyonya Kwon dengan sikap anehnya.

“Benar. Kami akan kembali ke US. Apa ada yang dapat kami bantu, nak?” Tuan Kwon bertanya padaku. Aku melirik ke arah mobil yang berkaca hitam. Mencari sosok Yuri di sana.

“Apakah… Kalian tidak membawa serta Kwon Yuri?” Aku bertanya setelah tidak menemukan sosok itu di dalam mobil. Tuan dan Nyonya Kwon berpandangan, kemudian Nyonya Kwon pergi dengan sedikit bergetar. Ia berbisik kecil pada Tuan Kwon sebelum pergi, tapi aku sempat mendengarnya.

“Yuri… melakukannya lagi.”

-oOo-

“Kami sebenarnya memiliki ketakutan padamu, nak. Bukan karena ayahmu atau ibumu. Tapi tentang apa yang kau lakukan pada tembok rumah kami setiap senja datang…”

Aku berjalan kembali ke rumah dengan dengkul lemas. Kalimat Keluarga Kwon masih terngiang hebat di dalam gendang telingaku.

…Kau mengetuk-ngetuk tembok rumah kami kemudian berbicara. Kami ketakutan. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa… Kwon Yuri telah melakukannya lagi.”

Televisiku menyala dengan sendirinya di saat tanganku mulai bergetar. Kupandangi layar buram dan hitam yang terpampang di sana. Nanar.

“… Kwon Yuri adalah anak kami. Dia adalah seorang tuna netra dan wanita tanpa kaki. Di usianya yang ke-14, dia di vonis memiliki kanker hati. Dia meninggal setahun kemudian.”

Aku diam, menunggu serpihan memori di dalam pendengaranku muncul.

“… sebelum kau, beberapa orang pernah berbicara dengannya dan melaporkan hal tersebut pada kami. Kami pindah dengan tujuan agar Kwon Yuri ikut bersama kami. Tidak mengganggu orang lain lagi…”

Aku menjatuhkan sesuatu dari kantung celanaku. Kulirik benda besi yang tergeletak di lantai marmer. Sudah cukup tua, suaranya pun sudah sumbang. Harmonika milik Yuri.

“… Ini adalah benda kesayangan milik Yuri. Maaf jika anak kami selalu mengganggumu. Kami harap kau bisa membuat gadis itu tenang. Kau bisa melupakannya.”

Aku pungut harmonika itu dengan gerakan patah-patah. Badanku masih bergetar. Aku berada pada ambang gila dan sadar. Aku taruh harmonika itu di depan bibirku, kutiup benda itu kencang. Tenggorokanku sakit.

Aku terbatuk, terjatuh dan berbaring di atas lantai.

Televisi di depanku masih menyala, dengan berisik.

Aku merangkak, mencoba menggapai halaman belakang. Salju turun masuk ke dalam kulit kepalaku ketika aku sampai di sana. Tanpa mantel, tanpa baju tebal. Aku berjalan mendekati sebuah tembok tanpa alas kaki. Kuketukkan buku-buku jariku di sana –tidak beraturan.

“Apa kau ada di sana… Yuri?”

Hening. Tidak ada jawaban. Aku mengetuk tembok itu sekali lagi.

“Yuri, aku membawa harmonikamu. Suaranya sumbang. Tenggorokanku terluka karenanya. Bagaimana bisa kau memainkannya dengan lancar, Yuri?”

Diam. Damai. Hanya angin yang berlalu.

Telapak kakiku mulai membeku. Aku terduduk di atas salju tebal.

“Yuri… Apa kau benar-benar…. tidak pernah ada…?” Aku terbata, dingin semakin terasa. Air mata ini ikut membeku. Aku tidak bisa menangis walau aku ingin.

“Apa yang harus kulakukan setelah ini, Yuri… Aku hampir saja memutuskan untuk menghabiskan hidupku bersamamu. Aku hampir saja berkhayal bagaimana bahagianya memiliki anak-anak darimu… Tapi kau menghancurkan semuanya pada hari ini. Aku bisa apa, Yuri… Aku bisa apa..?”

Aku memukul-mukul kepalan tanganku pada setumpuk salju. Tanganku kram, dan sakit.

Suara berisik dari Televisi di dalam rumahku kini menghilang. Angin semilir kini berputar di dekatku, dingin dan lebih dingin seiring waktu berlalu. Aku genggam beberapa butiran salju dan kulemparkan pada tembok di depanku. Aku menyentuhnya –tembok itu.

Kuhempaskan kepalaku berkali-kali di permukaan tembok itu. Sakit, tapi aku tidak tahu kenapa aku terus melakukannya. Seperti membuat pengharapan sendiri kemudian menghancurkannya dengan tangan sendiri, aku menghempaskan kepalaku di sana.

Mataku menjadi blur. Aku tidak mengetahui apapun jika saat ini.. Aku sudah bisa tidak sadarkan diri.

-oOo-

Seorang pria terjatuh di antara tumpukan salju. Kepalanya mengeluarkan tetes-tetes darah. Pria itu tidak sadarkan diri. Ia biarkan salju menjadi memerah karena darahnya.

Duduk di seberang tembok, seorang wanita mencoba mendekat. Ia tersenyum dan mengayunkan jarinya di udara. Telapak tangannya yang halus menyentuh permukaan tembok dari sisi berlainan dengan si pria.

Tok…Tok…Tok.

Ia mengetukkan buku-buku jarinya tiga kali dengan lembut. Gadis itu masih tersenyum.

Tok.. Tok.. Tok. Himchan, Apa kau di sana. Di sini Kwon Yuri. Terima Kasih telah menemaniku selama 13 bulan. Hari ini aku akan pergi. Tentang Harmonika, kau bisa menyimpannya. Jangan pernah menggerutu tentang sumbangnya suara benda itu, karena aku menyukainya…”

Gadis itu mengetuk-ngetuk tembok itu tiga kali –lagi. dan membuat suara ketukan itu keluar dari mulutnya.

Tok.. Tok.. Tok. Himchan, Kau masih hidup? tentu kau masih hidup. Di sini Kwon Yuri. Kau ingat Kwon Yuri? Gadis hantu yang tidak memiliki hati? Tentu kau ingat. Kwon Yuri akan pergi hari ini. Tuhan menyukai Kwon Yuri…”

Linangan air mata yang hebat turun bebas dari pelupuk gadis itu. Ia menyekanya beberapa kali, tapi linangan itu cukup deras.

“..Tok…Tok…Tok. Himchan, Kau tahu Beethoven? Kau tidak pernah salah tentang Beethoven. Aku juga akan menjadi seperti pria itu. Aku mungkin telah mati, Tapi aku ingin diingat. Bukan tentang bagaimana aku cacat, tapi tentang bagaimana aku mencintai.”

Suara gadis itu melemah. Himchan yang berada di sisi tembok yang lain, menggeliat dan memegangi kepalanya.

Tok…Tok…Tok. Himchan, Aku Kwon Yuri. hari ini berhentilah mengetuk tembok. Aku tidak akan ada di sini. Jika kau ingin melakukan sesuatu untukku… jadikan aku Beethoven di hatimu, Yang karyanya akan dikenang walaupun raganya sudah tiada. Karyaku satu, tumbuh di hatimu. Kau tentu mengenal cinta, bukan?”

Televisi yang padam kini menyala kembali dari dalam rumah Himchan. Pria itu sepenuhnya sadar, Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Tetes-tetes darah masuk dan menyerap ke dalam tumpukan salju. Himchan seperti masih mencari sesuatu walaupun ia sudah beranjak berdiri. Ia menempelkan telinganya pada tembok, memastikan sesuatu.

Hening.

Dalam beberapa menit, Himchan menggeleng. Ia masuk ke dalam rumah sambil menahan kepalanya yang kesakitan. Bibirnya bergumam rendah. Ia menggaruk lehernya.

“Apa yang terjadi? Apa aku bermimpi? Siapa Kwon Yuri?”

-oOo-

Tok… tok…tok…

Kim Him Chan, aku Kwon Yuri.

Kau tidak mengenalku?

-THE END-

.

.

.

Yoohoo. This is the 5th series. Sorry for a technical trouble. i have fixed it.

anyway, This is my favo ficlet out of 6th series of ILOVEU.

idk but i really love this. maybe because this fic starring himchan and yuri. /LOL

So what is you favo fic so far?

 

53 tanggapan untuk “E – From ILOVEU Series

  1. sediiihhh. jatuh cinta sama hantu udah ngebayangin nikah terus punya anak pula eeehhh malah yg dibayanginnya malah hantu ckckckck. kasiaaannnn :(.

  2. Tentang hantu lagi o.o
    tapi menurutku ending ny lucu hahaa 😀
    yuri udh panjang lebar ngomong gtu malah himchan ny amnesia hahahahaa 😀

  3. Kak… bener, deh, FF ini nyesek… tapi kenapa agak serem? ._. maksudnya, lebih ‘horor’ gitu daripada 4 sebelumnya yang baru aku baca. Dan parahnya, aku bacanya malem-malem… #gakadayangnanya #abaikan

    Oke, langsung ke komentarnya aja deh ya XD dari awal emang udah firasat pasti ini bakal berhubungan sama sesuatu yang ‘gaib’ lagi dan ternyata bener. Apa itu emang salah satu tema yang dipakai buat ficlet series ini? XD tapi kasian Himchan… disaat dia mulai mencintai, ternyata dia gak bisa mendapatkan apa yang ia cintai itu. Parahnya lagi, itu di ending kenapa Himchan harus lupa ingataaaaan?!?!?! :””( Ah kak Nyun… aku nyesek, sedih, kagum sekaligus bingung buat FF ini. Kenapa akhirnya gantung? 😦 Yah… tapi gapapa deh, soalnya kalau aku jadi Himchan, aku juga pasti bakal ngelakuin hal yang sama (jedukin kepala ke tembok berkali-kali dan berharap hilang ingatan).

    Terus, tata bahasa dan diksinya seperti biasa gak usah dikomentarin lagi. (secara kakak kan udah senior juga #barusadar ._.v) Kesimpulannya: as always, daebak! lanjut lagi ke yang terakhir~ 😀

  4. Aduh aku koq merinding ya baca FF yang ini……tapi bagus kok Thor……. 😀
    Semangat terus ya buat FFnya….FIGHTING!!!……

  5. sebenernya nungguiin ini di bapfanfict cuman akhirnya malah mampir ke sini 😀
    ah kok part ini lebih ke horror ya thor?
    ttaappiii tetep keren as usual ><
    tapi aku rada bingung sama endingnya.
    itu himchannya gak mati kan? *kali aka gitu.
    btw aku narik kesimpulan kalo author demen bgt bikin yuri jadi arwah LOL

    1. mungkin karena aku lagi suka The conjuring pas bikin ini /eh
      di sini emang ceritanya arwah-arwah gitu sih. Konsep awalnya seperti itu. buahahaha~~

  6. Ahhhh kalimat yulnie “sumbang itu belum sempurna, ketidaksempurnaan itu aku” daebak eon suka bangett ^^
    Ammpunn, mulai dari yulnie bilang dia enggak punya hati aku uda yakin pasti yulnie uda meninggal. Tapi ini benerbener sweet eonnie, chanie oppa itu asli sweet banget cinta sama yulnie walaupun belum pernah ketemu langsung. Tapi ff ini beneran buat aku merinding eon ngebayangin ada kisah nyata beginian gimana ya -_-
    Hiksee itu chanie oppa kok lupa sama yulnie sihhh :((((
    Daebak eonnie!!!!! 😀

  7. TOK… TOK… TOK…
    NYUUN … APA KAU MENGINGATKU ? AKU LUNA ISTRI SEHUN….

    wanjirrr….
    FF ini bikin aku nyampah berkali kali …
    Merinding tjoy ngebayangin ada hantu getok getok dinding gitu … dan aku sih mikirmya bukan hantu dan himchannya cuman lebih ke dindingnya sih …
    Pertanyaannya adalah … setebal apa dinding itu sampe oramg ngetuk aja kedenger dari luar. Ngomong juga kedenger … mungkin triplek kali? /Abaikan

    Demi apa ini ff straight kece yg pernah gua baca… you know lah gua gabisa baca straight… tapi ini meluluh lantakkan pertahananku… dari plot diksi pemilihan karakter alur cerita semua perfect !
    Two thumbs up for you…

    Himchan di akhir ko kaya orang bego ya??? Jatoh jatoh sendiri bangun bangun sendiri… garuk garuk pala pula yaawoh …

    Salam ketjup ketjup
    LUNAISTRISEHUN

  8. Agag serem cerita a ya eon,,
    Kalo aq yg jadi hiimchan, aq ud pindah rumah,,
    |̶|̶a=D|̶|̶a=))|̶|̶a=D|̶|̶a=))
    Tapi cerita a keren
    Keep spirit buat nulis,,

    Oiy eon,, aq masi nunggu tales of zodiac yaaa,, walaupun kris sama luhan ud keluar,, aq tetep nunggu eon,,
    Lanjutn ya eon,, pliiiiiiiiiiissssssssss

  9. horror plus nyesek inimah…Kirain himchan bakal berakhir koit, eh ternyata diidupin lagi sama nyun xDDD /efekbiaskaliyak/ /kabursebelomdisambit/

  10. Dan aku selalu pnasarn, knapa hantu lagi kaka ? Iya gppa, selalu seru ko ff kaka mh. Dan aku bingung, jadi slama ini himchan itu mimpi atau ? Hilang ingatan krena kpalanya di bentur2 ke dinding ?

Tinggalkan Balasan ke Riska Dewi Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.