어디니? 뭐하니? [Where Are You? What Are You Doing?] #1

어디니 뭐하니

[ 1 Of 2 ]

어디니? 뭐하니?

by bapkyr

Starring

Ahn Jae Hyun [Actor] & Kwon Yuri [SNSD]

| Romance, Tragedy, Mystery, Fluff, Angst, AU, PG-13, Chaptered |

based on

B.A.P – 어디니? 뭐하니? [Probably the story went a bit too far from the song because basically i only used some parts of this song’s lyric, not as whole.]

.

So whatever I do, your empty spot feels too big
I still fall asleep as I long for you…


.

Aku tengah bergelayut ketakutan pada ibuku kala bocah itu tersenyum menguatkan. Binar cokelatnya menyiasati setiap gelap menjadi benderang, dan aku sudah seperti dipaku oleh pandangan itu. Gigi-giginya yang belum sejajar sempurna ia pamerkan kemudian sesaat setelah ayahnya mengusap kepalanya. Bocah itu mengangguk kemudian menarik dirinya dari kursi panjang. Kaki-kaki mungilnya menyambangiku, membubuhkan aroma seperti tutti-frutti di indera penciumanku. Tangannya menyentuhku dengan lembut, membawa sejuta lagi fantasi yang sekali lagi, menguatkan.

“Jangan takut,” katanya lembut. Aku memandangnya tertegun. “Jangan takut ya,” katanya lagi. Bocah yang agaknya lebih tua dariku itu menarik tanganku, melepaskan genggaman tegangku pada ibu. Ketika tanganku terlepas dari lingkar lengannya, ibu membubuhkan persetujuan tersirat pada maniknya. Ia tersenyum—meski bola matanya masih bergerak tidak teratur, menyiratkan trauma dan ketakutan mendalam yang ia sembunyikan.

Aku memandang bocah yang memegangi lenganku. Ia tidak lebih tinggi dariku, tapi jelas sekali senyumnya mengulas kebijakan khas anak-anak seusiaku.

“Ayahku pasti akan melindungi kau dan ibumu. Jangan takut, ayahku adalah jagoan.”

Ia tertawa renyah, seiring dengan gelakan susulan dari ibuku dan ayahnya. Sesaat aku bisa merasakan ketulusan itu dan menaruh sedikit dari kepercayaanku padanya. Selama setidaknya tiga puluh menit, aku dan ibu bisa melupakan trauma kami seketika. Baik Sang Bocah dan ayahnya, adalah pribadi-pribadi yang menyenangkan dan dapat diandalkan.

Aku pikir, semuanya akan baik-baik saja.

Hingga saat aku menemukan ibuku terbaring tidak berdaya di atas balai kayu depan rumahku. Wajahnya sangat damai, tapi tidak dengan darah kental yang mengucur melewati pelipisnya. Bebatuan dan kerikil yang sudah susah payah kukumpulkan dari setiap pantai yang kukunjungi di tiap liburan datang, kini berubah warna menjadi semerah darah ibu. Surai hitam ikalnya menjuntai ke dasar balai, berkalang dengan pasir-pasir yang setiap saat diterbangkan oleh desau angin.

Saat itu aku tahu.

Ayah telah kembali.

.

.

SEPULUH TAHUN KEMUDIAN.

“Aku akan datang sepuluh menit lagi, berhenti meneleponku. Bye.” Kwon Yuri memutuskan sambungan teleponnya. Gadis itu memasukkan ponsel besarnya ke dalam tas punggung yang digendongnya kemudian buru-buru memutar kunci rumahnya dua kali. Memastikan pintu sudah terkunci, Kwon Yuri mendorong kenop pintu kemudian mengangguk-angguk tanda puas ketika pintunya sudah terkunci sempurna.

Gadis itu melirik arloji hitam yang dikenakannya, pukul delapan tepat.

“Aku akan terlambat lagi kali ini.” Ia mengeluh. Yuri menyesari jalanan setapak yang bermuara ke ujung jalan besar. Area setapak ini hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki saja, jadi Yuri harus terima bahwa kakinya yang sempat terkilir beberapa hari lalu, harus mau berjibaku dengan jalanan lagi. Dengan terseok-seok, gadis itu berusaha untuk sampai di mulut jalan secepat mungkin. Ia tidak ingin dikenakan denda atas keterlambatannya yang kelima di bulan ini.

“Taksi!” Gadis itu berteriak. Tangannya melambai ke salah satu taksi berwarna abu-abu dengan boneka-boneka marsupilami di kaca belakangnya. Taksi tersebut kebetulan sedang terparkir di mulut jalan. Mengumpat sebentar, gadis itu mempercepat langkah timpangnya. Ketika akhirnya ia sampai di pintu taksi, Yuri harus mau menerima kenyataan pahit bahwa taksi yang ia panggil sedari tadi ternyata tiba-tiba meninggalkannya. Di balik kemudi, sekilas ia melihat seorang pemuda tinggi dan kurus yang mengabaikan teriakannya dan melaju tanpa ragu.

“Brengsek!”

.

.

“Aku sedang mengejarnya, aku sedang mengejarnya, mohon sterilkan jalan di depan.” Ahn Jaehyun tadinya sedang duduk-duduk di balik kemudi sembari menyempurnakan penyamarannya dengan mengantar penumpang pagi ini, namun taksi abu-abu tersebut langsung saja ia kendalikan dalam sekejap ketika sebuah mobil jeep hitam melintas tepat di sisinya.

Pemuda itu terlibat kejar-kejaran dengan beberapa mobil polisi lainnya yang kebetulan didatangkan dengan sengaja untuk membantu Jaehyun. Ia bukan pengemudi yang baik, tapi ia adalah pria yang ambisius. Jaehyun memutar setirnya, memotong ke jalanan dengan arus berlawanan. Sambil terus berkomunikasi lewat radio polisi, pemuda itu mencari celah untuk memotong arah kemudi targetnya.

Asa itu akhirnya jadi nyata ketika Jaehyun melihat peluang di pertigaan yang berada di depannya. Saat itu target dikejar dengan dua mobil polisi bersirine, dan satu taksi abu-abu yang dikendalikan olehnya sendiri. Rencana Jaehyun adalah, menabrakan taksinya ketika jeep yang ia kejar berbelok ke kiri. Beresiko memang, tapi bukankah cara apapun yang ia lakukan kali ini memang semuanya beresiko? Jika ia mengeluh karena hal kecil ini, lantas untuk apa ia memutuskan menjadi detektif?

“Brengsek!” Jaehyun mengumpat kala melihat dua mobil yang melintas hampir menabraknya. Jaehyun berada di jalur yang berlawanan arah dan hal tadi sebenarnya adalah pemandangan wajar. Meski jalur tersebut terbilang sepi, setidaknya ia harus berjibaku dan ekstra hati-hati dengan tiga atau empat mobil yang kadang melintas tiba-tiba dengan kecepatan tinggi. Salah sedikit, nyawanya melayang.

Titik terang memang tidak pernah jauh dari kegelapan panjang. Jaehyun akhirnya mendapatkan kesempatannya. Dengan kecepatan penuh, dirinya menabrak pintu penumpang mobil jeep tersebut. Jaehyun terpental keluar sebelum hal yang tidak ia inginkan terjadi—tangki bahan bakar meledak misalnya. Mobil polisi rekannya yang berhenti di belakang jeep, kini menyelesaikan tugas Ahn Jaehyun. Pemuda itu tertawa senang ketika dua orang pria bertubuh kekar kemudian digiring keluar dengan paksa dari balik kemudi dan kursi penumpang di jeep. Dari dahi mereka keluar darah segar, mungkin akibat benturan pikir Jaehyun.

“Selesai sudah.” Jaehyun berkacak pinggang. Di tangannya bergurat luka-luka basah yang baru saja ia dapatkan dari kecelakaan disengajanya, dan Jaehyun mengabaikannya. Pemuda itu memilih menyesari jalanan sembari menjauh dari teriakan rekannya dari balik mobil polisi.

Ditatapnya awan-awan yang menggumpal cerah. Jaehyun mendesah. Orang-orang kerap mengatakannya si brilian yang brutal, namun baginya, ia tidak lebih dari seorang pemuda biasa yang penuh dosa.

.

.

“Kau bilang tidak akan terlambat.”

“Ada gangguan sedikit. Aku tidak dapat taksi.”

“Lantas kau barusan naik apa?”

“Aku jalan kaki, terpaksa.” Yuri mendesah. “Jangan menanyaiku terus, aku sedang kesal hari ini, Alice!”

Alice—gadis berambut pirang yang sudah bersama Yuri sejak keduanya duduk di bangku universitas—mengedikkan bahu, kemudian memberikan sebuah modul yang harusnya telah Yuri dapatkan jika saja ia tidak terlambat untuk mata kuliah pertama.

“Terima kasih.”

“Kau sadar tidak?”

“Soal apa?”

“Kau sudah terlambat mata kuliah ini sebanyak tiga kali dalam satu bulan.”

“Wow,” kata Yuri dengan nada tidak peduli.

“Hanya sebuah wow?”

Alice memandang sahabatnya itu dengan tatapan tak percaya sejengkal pun. Yuri memang paling tidak peduli soal peraturan, namun biasanya ia tidak sampai sekacau ini. “Apa sesuatu terjadi sejak hari itu?”

Yuri terhenti dari kegiatannya membuka lembar demi lembar modul yang diberikan Alice. Alisnya sedikit terangkat—mungkin terkejut. Gadis itu kembali membuka lembaran tersebut setelah ia berdeham. “Kau ini bicara apa. Sebaiknya berikan padaku catatan kelas pertama tadi daripada berasumsi yang bukan-bukan.”

Alice tahu Yuri bohong, tapi ia berakting seolah ia paham. Seingat Alice, segalanya menjadi tidak benar dalam kepribadian Yuri sejak hari itu. Hari dimana Yuri tiba-tiba diserang oleh seseorang tidak dikenal dalam perjalanan pulang dari kampus ke rumah kecilnya. Yuri terlihat tidak tenang, dan mulai sering berhalusinasi.

Pernah suatu ketika Yuri tertidur di perpustakaan, kemudian ia berteriak histeris dalam tidurnya. Alice membawanya ke klinik kesehatan kampus, dan mencoba mengorek apa yang terjadi pada sahabatnya tersebut, namun Yuri selalu membungkam bibir Alice dengan pengalihan topik yang mulus, seperti tadi.

“Bagaimana soal kakimu? Sudah baikkan?”

Tanpa melihat wajah Alice, Yuri mengangguk.

“Kau tidak berniat melaporkan ini ke kantor polisi?”

Air wajah Yuri berubah, ia merasa tak nyaman dengan topik tersebut sehingga memandang Alice dengan manik ultimatum. “Aku sudah bilang aku baik-baik saja, bukan?”

“Tapi kau sepertinya,” Alice mengigit bibirnya karena gemar berbicara tanpa berpikir. Namun akhirnya gadis itu menyelesaikan kalimatnya juga, dengan nada rendah yang dibuat samar. “Sangat ketakutan.”

Yuri menutup modul tebalnya dengan kesal hingga suara berdebum khas buku jatuh didengar Alice kemudian. Saat itu Alice tahu bahwa ada yang salah dengan Yuri.

“Kau harusnya mengerti bahwa baik-baik saja berarti, baik-baik saja.”

.

.

“Hey Al!”

“Himchan!” Alice menarik tangan pemuda yang baru menyapanya tersebut. “Aku butuh bantuanmu, eh, lebih tepatnya mobilmu.”

“Hah?” Himchan—pemuda tinggi dengan rambut hitam khas Korea—terlihat kebingungan. “Tapi kau ‘kan biasanya tidak suka naik mobilku,”

“Jangan banyak bicara dan turuti saja aku.”

Sejurus kemudian, rasa penasaran Himchan akan keanehan Alice akhirnya terbayarkan. Keduanya tengah sibuk mengamat-amati sosok Yuri yang berjalan terseok-seok dari kampus. Gadis itu terlihat sangat hati-hati dalam melangkah. Malah bisa dibilang, ia sangat waspada terhadap apapun di luar rasa sakit dari kakinya.

Setiap tiba di pertigaan atau perempatan, Yuri selalu memastikan berkali-kali bahwa keadaan di sana aman untuk dilewati. Terkadang ketika beberapa pria melintas, Yuri akan memeluk tubuhnya ketakutan, kemudian melangkah dengan menyembunyikan wajahnya di balik surai hitamnya.

“Temanmu itu aneh, dia kenapa sih?” Himchan berkomentar.

“Itu yang sedang kita cari tahu. Tingkah lakunya menjadi sangat aneh sejak kasus penyerangan oleh orang misterius, itu yang kuceritakan padamu kemarin, mungkin kau ingat.”

“Ah,” Himchan mengangguk-angguk sembari mengemudi. Dirinya harus pintar-pintar menjaga jarak aman agar Yuri tidak curiga. “Sudah lapor polisi?”

“Yuri tidak mau. Entahlah, aku tidak tahu apa alasannya.”

“Kau hubungi saja keluarganya daripada repot-repot mengintai seperti ini.”

“Dia tinggal sebatang kara. Bukankah aku juga sudah pernah menceritakan ini padamu?”

Himchan berdecak. “Yah, kau tahu aku bukan pengingat yang baik.”

Alice mengabaikannya. Matanya fokus pada sosok Yuri yang kini mulai berjalan kembali dengan sangat pelan. Tidak tahu mengapa, tapi tiba-tiba gadis itu berhenti, kepalanya mendongak seolah terkejut. “Kenapa dia berhenti? Ada apa?” Himchan penasaran juga. Segera setelah ia menghentikkan deru mesin mobilnya, gerimis kemudian menyambut mereka.

Keanehan di mata Alice bertambah tatkala sosok Yuri tidak juga beranjak meski bajunya hampir basah kuyup diterjang gerimis. Bahkan saat itu, Yuri sama sekali tidak memandangi jalanan di depannya. Kepalanya hanya menunduk, sementara seluruh tubuhnya bergetar.

Merasa ada yang tak beres, Alice keluar dari mobil. “Kau telepon 911 jika sesuatu terjadi.” Perintahnya pada Himchan. Sementara Alice menyambangi sosok Yuri, seorang pria bermantel kelabu tiba-tiba menyerang Alice dari belakang, membuat tubuh itu terpelanting di atas aspal becek. Himchan yang melihat, segera menekan panel tombol 911.

Pria dengan jaket kelabu tadi, kemudian menyerang Yuri yang kebetulan terlonjak juga dengan kejadian barusan. Tangan kekarnya melingkar di leher Yuri, tidak memberikan gadis itu antisipasi untuk melawan. Tangan lemah Yuri memukul-mukul tangan tersebut sementara di sisi lain, Alice mulai bangkit dan berteriak minta tolong.

Himchan dengan panik menyalakan deru mesin mobilnya. Ia meneriaki Alice agar menepi. Kala itu Alice tahu apa yang akan dilakukan Himchan dan ia dengan sukarela menepi ke tempat yang lebih aman baginya. Di seberangnya, tubuh Yuri yang meronta kini mulai terangkat, bibirnya bergetar hebat—mungkin bergumam minta tolong. Pria kekar berjaket kelabu tadi mencekik Yuri tanpa ampun ketika mobil Himchan mendarat tepat di tempurung siku kakinya. Pria misterius itu kemudian melepaskan cengkramannya dari leher Yuri.

Memanfaatkan kesempatan, Yuri berlari terseok menepi kemudian bergabung dengan Alice sementara dalam sekejap, pria misterius tersebut pergi entah kemana.

Yuri menitikkan air matanya, ia mencoba mengatur napasnya namun badannya gemetar hebat. Gadis itu terkulai di atas aspal, telinganya seolah mendadak tuli. Inderanya tidak ada yang berjalan dengan benar setelah ia mencium aroma dari pria tadi.

Yuri tidak salah lagi. Pria itu adalah pria yang menyerangnya beberapa hari lalu.

Alice membantunya berdiri kemudian. Gadis itu mencengkram bahu Yuri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tatkala manik mereka bertemu tatap, Alice berkata dengan mantap. “Aku akan laporkan ini ke polisi, dengan atau tanpa persetujuanmu. Ini sudah sangat keterlaluan.”

.

.

Ahn Jaehyun tidak peduli soal luka-lukanya. Pemuda itu datang dengan perban yang dililit asal kemudian dipotongnya dengan kekuatan gigi. Ia hendak duduk di mejanya, namun maniknya tertohok pada seorang gadis yang menggigil kedinginan di kabin khusus pelaporan tindak kejahatan. Ia diapit oleh dua orang yang berulang kali mencoba memaparkan kronologis atas suatu kejadian di depan seorang polisi. Ahn Jaehyun tidak bisa menahan ketertarikannya, sebab, gadis yang diapit tersebut tidak kunjung bicara.

Jongsuk—petugas yang tengah diamati oleh Jaehyun, berjalan ke arahnya dan melemparkan sebuah buku kecil di atas meja Jaehyun. Pemuda itu memelototinya, “kau sajalah yang urus mereka. Aku harus pergi mengurusi kasus yang lain.”

“Aku baru saja datang,”

“Aku juga. Seharusnya Inhaeng ada di sini untuk tugas jaga, tapi ibunya sakit dan sekarang ia pergi. Kau sajalah yang urusi mereka. Waktuku tak banyak.”

Jaehyun belum mengiyakan, namun Jongsuk sudah keburu berlalu. “Sial.” Ia mengumpat. Dengan langkah gontai, Jaehyun berjalan ke arah tiga orang di kabin pelaporan. Ia menyeret sebuah kursi kayu yang letaknya berhadapan dengan sang gadis yang basah kuyup.

“Jadi,” Jaehyun mulai mengangkat penanya. “Siapa di antara kalian yang akan bicara terlebih dahulu?”

“Aku!”

“Aku!”

Jaehyun mengamati seorang pemuda dan pemudi yang mengapit Sang Gadis Basah Kuyup di tengah. Keduanya sama-sama antusias untuk menjawab pertanyaannya. Lain hal dengan gadis pucat ini, Jaehyun seolah tengah berhadapan dengan mayat hidup.

“Siapa namamu?” Jaehyun memutuskan untuk bertanya kepada gadis yang duduk di tengah. Tatapan matanya sayu dan tubuhnya selalu menggigil gemetaran. Bibirnya bergetar, seolah hendak berkata-kata, namun tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari sana.

Jaehyun tidak suka berlama-lama. “Siapa nama gadis ini?” Ia bertanya pada pemudi berambut pirang yang duduk di sisi kanan sang gadis. “Dia Yuri, Kwon Yuri. Aku Alice dan ini Himchan, kami berdua temannya.”

Jaehyun segera menulis. Ketika penanya menggoreskan nama Kwon Yuri di atas buku kecilnya, pemuda itu terhenti sebentar. Aku pernah mendengar nama itu. Batinnya berkata. Namun Jaehyun tak acuh. Ia lantas bertanya hati-hati soal pelaporan tindak kriminal macam apa yang baru dialami korban, juga tentang ciri-ciri pelaku dan motif.

“…dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Hal ini bermula sejak lima hari yang lalu. Yuri pernah diserang juga, tapi ia selamat karena pada saat ia dapat berlari menghindar. Namun hari ini, kakinya terkilir sehingga ia tidak sempat menyelamatkan diri. Jika kami tidak mengikutinya hari ini, sudah pasti dia…”

Alice menghentikkan kalimatnya. Saat itu ia merasa bersalah karena Yuri tahu-tahu meneteskan air matanya. Gadis itu menangis tersedu sembari memegangi tubuhnya erat-erat. Lengannya membiru karena terlalu lama dicengkram. Tak lama, Yuri ambruk. Himchan dan Alice menopang tubuhnya agar tidak mencium lantai. Saat Yuri dibawa dengan ambulans ke rumah sakit sejurus kemudian, ia benar-benar sudah tidak sadarkan diri.

.

.

“Ibu, aku pulang.” Aku memeluk sosok hangat itu erat-erat. Namun beliau malah mengenyahkan tanganku. Bahkan ia sama sekali tidak menatapku. Saat aku bertanya kenapa, ia hanya menggeleng kemudian berujar, “kau tidak seharusnya di sini.”

“Bukankah aku sudah mati?”

“Kau hidup, Nak.”

“Tapi aku merasa sudah sangat mati sejak kau meninggalkanku. Aku tidak punya alasan untuk tetap hidup lagi.”

Beliau tersenyum padaku. Ia mendekat dan mengusap rambutku dengan sentuhan yang sudah lama aku rindukan. “Alasan itu akan datang padamu, kau hidup untuk alasan itu.”

“Alasan yang bagaimana, Ibu?”

“Kau akan tahu. Kenangan akan selalu tahu jalan pulangnya. Kau yang tidak pernah membenci, akan mulai hidup untuk mengobati kebencian. Kau hidup untuk alasan itu. Bangunlah. Bangunlah dan temukan alasanmu. Bangunlah sayang, bangunlah…”

.

.

“YURI!”

Kaki jenjang Alice berlarian dari pintu ke sisi kasur yang ditempati Yuri. Ia terlonjak ketika melihat tubuh Yuri bergerak dan matanya terbuka. Alice meneteskan air mata saat gadis itu mulai bisa menatapnya dengan samar, bibirnya menyebut namanya dengan parau, kemudian Alice memeluknya.

“Syukurlah kau bangun juga. Aku takut sekali, Yuri-a!”

Yuri memegangi kepalanya yang masih belum nyaman karena rasa linu yang dideranya. Ia memutuskan untuk bangun dan mendudukkan tubuhnya di atas kasur dengan bantuan Alice. Manik Yuri mengedar ke seluruh ruangan, gadis itu baru sadar beberapa menit kemudian bahwa ia berada di rumah sakit.

“Apa yang terjadi padaku, Al?”

“Kau pingsan di kantor polisi.”

“Aku? Pingsan?”

“Kau tidak ingat?”

Yuri memegangi kepalanya. “Kukira itu mimpi, Aw.” Yuri merintih ketika melihat perban di sekitar pergelangan tangannya. Seingatnya, luka itu memang telah ia dapatkan ketika berusaha lepas dari cekikan pria misterius beberapa saat lalu.

“Jangan banyak bergerak. Diagnosa dokter menjelaskan kau mengalami trauma.” Alice menilik manik sahabatnya itu dengan teliti. “Hey, apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”

“Apa? Kenapa kau bertanya seperti itu dengan tiba-tiba?” Yuri menepuk pundak Alice, kemudian ia merintih kesakitan lagi.

“Dokter mengatakan bahwa kau mengidap trauma mendalam sejak kau kecil. Catatan kesehatanmu tidak baik, Yuri-a. Apakah sesuatu terjadi ketika kau kecil?”

Yuri masih ingat betul soal hari di mana balai bambu adalah tempat terakhir yang ditiduri ibunya. Kemudian aroma menyebalkan dari ayahnya yang sudah lama sekali hilang, aroma horor itu. Kini ia merasakan aroma tersebut setelah sekian lama hidup dalam ketenangan. Siapa yang bisa menganggap ini sebagai hal kecil? Siapa yang bisa mengabaikan ini sebagai kejadian biasa saja?

Trauma itu memang ada sejak ia kecil, tapi Yuri lebih senang menyimpannya sendiri.

“Tidak, kau berlebihan. Aku tidak trauma atas apapun.”

Alice menunjukkan rasa tidak puas dari wajahnya, Yuri bisa membacanya. Namun kala itu seorang pemuda jangkung tahu-tahu sudah berdiri di ambang kiri kasurnya. Ia menatap Yuri, dan Yuri membalas tatapannya. Gadis itu tidak memiliki kunci identitas pria tersebut meski jauh di dalam hatinya, ia merasa pernah mengenalnya di suatu tempat.

Pemuda itu membuyarkan lamunan Yuri dengan uluran tangannya. Ia memperkenalkan diri. “Aku Ahn Jaehyun. Aku seorang detektif. Kau berada dalam masa penjagaanku hingga pelaku kasus percobaan pembunuhan padamu dapat tertangkap.”

“Hah?” Yuri terkejut kemudian menatap Alice. Gadis bersurai pirang itu gugup, tangannya bergoyang ke kanan dan ke kiri. “Bukan aku yang meminta layanan ini. Himchan yang melakukannya. Ia juga cemas akan kondisimu.”

“Al—“

“Aku tidak ingin mendengar penolakan, Yuri-a. Ini soal keselamatanmu yang tidak bisa diperdebatkan. Detektif ini akan bekerja dua puluh empat jam untukmu. Tidak selamanya kok, hanya sampai pelakunya tertangkap.” Alice memandang lurus dan mengusap kepala Yuri, “kau mau ya?”

Yuri menatap uluran tangan dari Jaehyun yang belum ia balas. Pemuda ini nampak lebih tua darinya, tapi tidak dengan kulit putih susunya. Meskipun tampan, tapi jelas sekali bahwa pemuda ini memancarkan aura tidak menyenangkan bagi Yuri. Ia beralih menatap Alice yang masih memohon-mohon pada Yuri.

Ia berdecak.

Yuri mengayunkan tangannya, menyambut uluran tangan dari Jaehyun. Tanpa tersenyum sedikit pun ia berkata, “Kwon Yuri.”

.

.

“Semoga lekas sembuh, Yuri-a, Dah!”

Alice melambaikan tangan dari kursi penumpang mobil hitam milik Himchan. Keduanya baru saja meninggalkan Yuri di apartemen asing yang bukan menjadi tempat tinggalnya.

“Masuklah.” Jaehyun berujar. Benar, Yuri berada di gedung apartemen pemuda tidak menyenangkan ini. Usut punya usut, Ahn Jaehyun memiliki seorang atasan yang tak lain adalah kerabat dari Alice. Pemuda ini diberi mandat langsung untuk menjaga Yuri hingga pelaku atas kejadian kemarin tertangkap. Ada kemungkinan pelaku akan kembali dan mencoba membunuh Yuri lagi jika Yuri tinggal di tempat lamanya, maka Jaehyun membawanya ke apartemen miliknya dengan seizin Alice.

Jaehyun memapah Yuri ke dalam lift, kemudian menekan tombol sembilan di sana. Keduanya tercebur ke dalam kesunyian panjang ketika pintu lift menutup.

Yuri melirik sesekali lantaran tidak kuasa bergumul dengan kesunyian, namun respon sang lawan bicara tidak bagus. Ahn Jaehyun berdiri dengan tampang dinginnya; kedua tangan dimasukkan ke saku serta pandangan mata yang lurus ke depan. Manik Yuri terus mengamat-amati pemuda itu, ia yakin ia pernah melihatnya di suatu tempat.

Pintu lift terbuka. Jaehyun berjalan di depan, tanpa mempersilakan Yuri mengikutinya.

“Jangan terlalu cepat, kakiku tidak sepanjang kakimu.” Protes Yuri. Jaehyun tidak sedikit pun menoleh. Pemuda itu berdiri kaku di depan sebuah pintu. Ia meletakkan jempol tangannya di sebuah panel kemudian suara ceklek nyaring, terdengar. Saat Yuri berjalan susah payah di ambang pintu, Jaehyun sudah masuk ke dalam apartemennya, entah kemana.

Sejurus kemudian, Yuri berjalan gontai menuju satu-satunya sofa yang berada di tengah ruangan. Sofa tersebut berhadapan langsung ke sebuah layar televisi besar berbingkai cokelat. Yuri menjatuhkan tubuhnya di sana, kemudian segera meletakkan sebuah bantal di belakang kepalanya.

“Ah, ini sangat nyaman.” Pujinya. “Jaehyun-ssi, kau beli di mana sofa ini? Ini pasti sofa mahal! Kau akan orang kaya ya?” Yuri menepuk-nepuk permukaan empuk sofa ketika Jaehyun melintas di hadapannya. Pemuda tersebut membawa sebuah selimut tebal dan sebuah bantal yang kemudian dilemparkannya ke arah Yuri.

YA!” Yuri berteriak. Mengira Jaehyun telah berlaku tidak sopan padanya, ia pun protes. “Dirimu dan diriku, kau tahu siapa yang baru keluar dari rumah sakit? Aku! Kenapa kau berlaku kasar seperti ini pada wanita sakit, eoh?”

Jaehyun berjalan cuai ke ruangan lain. Yuri masih berdecak kesal di belakang bahunya namun Jaehyun seolah tuli. Ia membawa sebuah gelas dari dapur kemudian menuangkannya penuh dengan air putih. Jaehyun dengan ekspresi tenang, meletakkan gelas tersebut di atas meja kecil yang terdapat tepat di depan Yuri.

“Apa ini? Kau sedang menyuapku agar aku tidur di sofa? Minta maaf caranya tidak seperti ini!”

Jaehyun mengangkat gelas di atas meja kemudian menyodorkannya tepat di depan hidung Yuri. Gadis itu berhenti berbicara, pandangan matanya bersirobok dengan cokelatnya iris mata Jaehyun. Namun begitu, ia masih tak berkata-kata banyak. “Minumlah dulu.”

“Kenapa aku harus menurutimu?”

“Kau baru saja berteriak-teriak di rumahku, tidakkah kau haus?”

Yuri berdeham, kemudian menarik gelas dari tangan Jaehyun dengan segera. Ia meneguk air tersebut dengan cepatnya, untung saja Yuri tidak tersedak.

Saat itu Jaehyun memanfaatkan kesempatan untuk bicara lagi. “Setelah selesai minum, cepat pergi dari sini.”

Yuri baru tersedak kali ini. Ia meletakkan gelas di atas meja kaca dengan kesal. “Apa kau bilang? Kau mengusirku?” Maniknya melebar seiring dengan darahnya yang mendidih. Yuri bisa saja memukul pria ini jika saja semua otot-ototnya telah bekerja nomal. Jaehyun adalah kebalikannya, air wajah tenang tak bosannya ia unjuk gigikan di depan Yuri. Malah, pemuda itu kini melipat kedua tangannya di depan dada, melirik sebentar pada Yuri.

“Aku lelah dan ingin tidur. Jika kau masih duduk di sofa ini aku tidak akan bisa tidur. Kasurmu di dalam.”

Hening. Yuri mendadak diam. Wajahnya merah padam, rupanya ia telah salah paham. Ia bahkan tidak sanggup menatap wajah Jaehyun. Jaehyun tertawa tipis—hampir samar. Ia menepuk pundak Yuri kemudian menamatkan kalimatnya detik itu,

“Belajarlah untuk berbicara dengan lembut. Suaramu akan mengganggu para tetanggaku.”

.

.

“Oh brengsek. Hidupku tidak mulus akhir-akhir ini. Setelah penyerangan misterius, sekarang apa lagi ini? Hidup dengan pria asing? Yang benar saja!” Yuri menendang sisi kanan kasur, kemudian ia berloncatan ke atas kasur sambil merintih kesakitan. Yuri mengentak-entakkan tangannya ke atas kasur kemudian berguling-guling ke kanan dan kiri. Malah, saking kesalnya, ia menggigiti selimut milik Jaehyun dengan penuh emosi.

“ARGH!”

Tok. Tok. Tok.

Ketukan di pintu kamar. Yuri berhenti dari aktivitasnya saat ketukan itu terhenti dan digantikan suara Jaehyun. “Jangan sentuh barang-barangku, Nona. Aku memperingatkanmu, ini masih tempat tinggalku. Terima kasih.”

ARGH!

Yuri semakin kesal. Wajahnya merah padam, napasnya memburu. Ia tidak pernah sekesal ini oleh orang asing. Gadis itu kelelahan sejemang kemudian. Ia menatap langit-langit sembari berbaring di atas kasur bertekstur empuk dengan selimut mahal. Jaehyun mendekorasi langit-langit kamarnya dengan lukisan langit, bercorak biru gelap—seolah mendung di sana. Dinding-dindingnya di cat dengan warna biru yang lebih cerah, seperti warna langit siang hari di musim panas. Ubinnya keramik biasa, namun petak-petaknya disusun oleh tiga warna berbeda; putih, abu-abu dan hitam.

Yuri terpekur sejenak. Selera Jaehyun sangat unik, lebih seperti tidak sesuai dengan tampangnya. Di atas meja kecil dekat kasur, Yuri menemukan beberapa figura foto yang dipajang Jaehyun. Ia tersenyum melihat Jaehyun remaja dengan tropi dan piagam penghargaan yang dikepitnya kuat-kuat. Fotonya nampak biasa saja, ia tidak tersenyu, tidak sedih. Penampilannya sederhana, cenderung tanpa ekspresi.

Manik Yuri kemudian meretas pandang pada figura foto kedua. Jaehyun kecil.

Ketika melihat itu, maniknya membesar. Yuri mengucek matanya jika ia salah pandang akibat terlalu banyak obat yang dia konsumsi, namun tidak, matanya tidak salah kali ini. Yuri meraih figura tersebut dan mencoba mengamatinya kembali sedekat mungkin; lekuk wajahnya, cara tersenyumnya, juga tangan kecil yang terkepal miliknya. Di sisi Jaehyun kecil, berdirilah seorang pria paruh baya yang sekilas, nampak sangat mirip dengan Jaehyun. Yuri menyimpulkan bahwa pria itu bisa jadi adalah ayah Jaehyun.

Tapi yang menarik bukan kesimpulan itu.

Yang membuat dunia Yuri jungkir balik adalah, kenyataan bahwa ia mengenal kedua wajah di sana. Ia yakin mengenalnya dengan baik, bahkan hanya dalam tiga jam terakhir dari pertemuan pertamanya. Yuri masih hapal betul suara lembut yang menghangatkan tersebut, masih ingat kekuatan yang diberikannya. Yuri masih fasih melapalkan kalimat bocah itu, kalimat yang membuatnya melepaskan diri dari kungkungan ketakutan yang traumatik.

Lalu ia ingat balai berdarah, malam pembunuhan, aroma tutti frutti dan,

“Jangan takut. Ayahku akan melindungimu dan ibumu. Dia jagoan.”

Bocah lelaki manis yang pernah berjanji padanya, dahulu sekali.

.

.

TBC.

45 tanggapan untuk “어디니? 뭐하니? [Where Are You? What Are You Doing?] #1

  1. huaa excited banget sama kelanjutan ff ini. Si bocah kecil yang sama yuri itu jaehyun ya? Trus gatau kenapa ini feeling atau sekedar opini belaka, berasa yang bunuh ibu yuri itu bukan ayahnya yuri tapi orang lain. Ini bukan riddle atau teka-teki tapi cerita kak nyun selalu penuh misteri. Di tunggu next partnya kak nyun

  2. Untuk kesekian x nya q harus bilang ff kamu memang daebak,ngaduk2 perasaan,n buat orang penasaran pengen ngubeq2 postingan baru kamu…
    Sebenarnya dulu yuri sama jaehyun punya hubungan apa?
    Kenapa yul punya trauma kaya gitu,?
    Sorry g tau mw komentar apa lagi,tapi yang pasti ditunggu postingan barunya
    fighting 😀

  3. wahh keren kak nyun tapi ceritanya kok kayaknya enggak cocok ya kak sama judulnya? aku agak bingung. hehe 😀 next part di tunggu ya kak trims 😉

  4. agk ragu bcanya..coz cast lkinya gk bgtu knal..tpi krna jdulny aq suka akhirnya aku bca. pas d bca walaah walahh crtnyaa krenn binginn..daebaklahh… jdi pnsrn profilnya anh jae hoon^_^

  5. Kya~stelah aku baca bbrapa riddle kakak,aku nemuin nih fict yang cocok penghilang rasa pusing akibat nebak nebak riddle..

    Yang ada dipikiranku adalah ada ibu yuri dan yuri pnya mslah apa sama ayahnya?ape ngebunuh ibunya yuri sgla emg dah bnyak aku nemuin ayah yang kyk gtu gtu…tpi yang aku bingungkan adalah apa tjuan dari ayah yuri smpai dia kmbali dan berniat mencelakai yuri?

    Trus apa yang trjadi ama ayahnya JaeHyun?apa dia di bunuh oleh ayahnya yuri,karna berniat melindungi ibunya Yuri dan Yuri?

    Next y kak ^^

  6. waaah aq baru baca ini,, ini juga nemu di google.. keren bgt kak ceritanya
    Org misterius itu ayah nya Yuri? dia balik lagi mau bunuh Yuri,, tp Yuri jg ketemu lg sama Jaehyun… huaa penasran gmn lnjutan.a,,

  7. Ampuun kak ampuun itu yang bikin poster siapaaaa?? Jaehyun cakep pake banget 😀 minta dibawa pulang kayaknya ya XD lagi suka jaehyun dan nemu fict ini? Aku excited banget beneran deh sampe histeris *loh XD akhirnya takdir mempertemukan mereka juga 😀 orang misterius itu bapanya yuri ya? Aihh jaehyun cocok banget kalo dikasih peran cowo-cowo jutek begini 😀 keren 😀

  8. yuri kasihan sekali.. masa kecilnya horror banget..gk mau bayangin kejadian pas dia menemukan ibunya tak bernyawa 😥 pantes.. yuri masih trauma & hidupnya jadi gk tenang jadi penasaran apa sih yg sebenarnya terjadi? kenapa yuri kecil & ibunya harus lari ke jaehyun kecil & ayahnya?

    bagus kak nyun 😀 ada action”nya gituu wkwk

  9. Ini keren waw! Btw banyakin ff bergenre action thriller gtu dong kaknyun wkwkwk kayak just me and the boys gtu, ijin baca next part!

  10. Jangan bilang kalau ayah nya jaehyun yang ngebunuh ibu yuri, ih pokoknya jangan. Ini yang menarik dari ff kak nyun selalu di buat penasaran di tiap part nya, selalu ada misteri misteri gimana gitu 😁

Ain't a selfie, don't just look, write something

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.