[Vignette] Tale of A Too Much Woman

Tale of a too much womana story by bapkyr (@michanjee)

Tale of A Too Much Woman

fanfiction request by : Imaniarsevy

[Visit her blog HERE]

based on a Michael E. Reid’s quotes

starring Kwon Yuri of SNSD & Lee Donghae of Super Junior genre drama, life, AU! romance length vignette rating general


“Kau yakin aku tak perlu mengantarmu?”

“Tidak. Rumah sakitnya tak jauh dari sini.”

“Tapi Oppa, kalau kau membutuhkan—“

“Berhenti bersikap seperti itu, Kwon Yuri! Aku tidak suka.”

Donghae mematikan ponselnya. Bukan hanya menyentuh ikon merah yang menyala-nyala di layar, ia bahkan melepaskan baterai dari Samsung hitamnya dan menaruh benda tersebut jauh di dalam saku celananya secara terpisah. Pria dua puluh lima tahunan itu menggerutu sementara tungkainya membawa sang pria ke sebuah pintu rumah sakit. Pantulan sebagian bangunan tertangkap oleh iris hitamnya, yang kemudian membuatnya ragu.

Donghae menghela napasnya. Tidak seharusnya ia berdiri di sana, memandangi pintu rumah sakit berlama-lama, toh, tujuan aslinya memang bukan berkunjung ke dalam bangunan tersebut. Alasan utamanya berjalan kaki dari apartemennya di tengah malam begini adalah karena gadis yang menelepon barusan. Kwon Yuri, gadis yang telah menemaninya selama dua tahun, yang belakangan dinilai Donghae terlalu membosankan. Gadis tersebut tidak pernah melakukan kesalahan, ia selalu ada ketika Donghae butuh dan selalu memerhatikannya dalam setiap kesempatan kecil yang ada. Parasnya menawan, figurnya proporsional, dan pekerjaannya sebagai pengacara semakin menambah nilai lebih dari sosoknya. Sang gadis juga berasal dari keluarga baik-baik yang mengedepankan hak asasi para anaknya untuk memilih jalan hidup ketimbang memaksa untuk meneruskan bisnis keluarga. Yuri sangat baik dan ramah, ia juga digilai oleh para pria yang dekat dengannya. Namun di antara seluruh pilihan sempurna yang berjajar rapi, ia memilih Donghae—seorang karyawan muda biasa di perusahaan mobil impor.

Donghae mencintainya, tentu saja. Namun kebaikan dan kesempurnaan yang dimiliki Yuri, kini nampak tak bernilai lagi setelah dua tahun kebersamaannya. Yuri tidak melakukan kesalahan, satu-satunya kesalahan adalah karena ia terlalu baik. Donghae muak pada gadis yang selalu memikirkan dirinya di atas kepentingannya sendiri—entah untuk alasan apa.

Tungkainya menjauh dari rumah sakit, terus berjalan beberapa meter ke depan hingga nampaklah sebuah bangunan penuh lampu hias di hadapannya. Donghae menganggukkan kepala kepada seorang pria berseragam hitam yang berjaga di depan pintu. Ia menyerahkan beberapa lembar uang kecil pada sang pria sembari membubuhkan cengiran pertemanan. Sang pria berseragam membiarkan Donghae masuk.

Alunan musik keras menggema di seluruh sudut, memancing Donghae untuk masuk ke dalam bangunan tersebut lebih dalam lagi. Ia melihat sebuah kursi tinggi di depan meja bartender yang tak bertuan, kemudian duduk di sana setelah memesan wine kesukaannya. Bukan hobi Donghae untuk menjajal sebuah pub selarut ini, namun dua minggu yang lalu segalanya berubah. Saat itu, ia tak sengaja mengunjungi tempat itu selagi pikirannya kalut soal pekerjaannya yang memeras otak. Mabuk berat, ia menari gila hingga tengah malam, sampai seorang gadis muda menuntunnya ke sofa untuk beristirahat. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai Hani.

Apa yang membuat Donghae tertarik pada Hani adalah figurnya. Tentu ia sama cantiknya dengan Yuri, namun perangai Hani dan cara berpikirannya sangat berbeda dengan kekasihnya. Hani lebih berani, liar dan nakal. Ia juga tak segan membubuhkan sebuah ciuman samar di pipi Donghae meski saat itu adalah kali pertama keduanya bertemu.

Harus Donghae akui, ia tertarik pada Hani. Untuk itu, setiap ada kesempatan menjauh dari Yuri, maka ia akan mengunjungi tempat ini, menunggu Hani selesai dengan pekerjaan menggoda lelaki paruh baya dan mengobrol santai dengannya hingga pagi. Donghae sudah terjebak dalam situasi ini selama dua minggu terakhir tanpa sepengetahuan Yuri. Pada awalnya ia merasa bersalah, namun semakin ia mengenal Hani, semakin ingin ia enyahkan presensi Yuri dari hidupnya. Donghae merasa apa yang dilakukannya sudah benar.

“Bertengkar lagi dengan pacarmu ya?” Hani muncul di sisinya, merangkul pundak Donghae penuh cinta dan membisikkan kalimat pada telinganya dengan niat menggoda. Hari ini, ia memakai sebuah rok mini yang dipadukan dengan kemeja putih longgar yang tiga kancing teratasnya ia tanggalkan, membuat lekuk-lekuk bagian privatnya dapat terlihat jelas oleh Donghae.

“Dia memaksaku ke rumah sakit karena aku mengeluh sakit perut,” Donghae tertawa. “Menjengkelkan.”

“Mungkin kau memang harus periksa,” Hani menyentuh perut sang pria dan mengusapnya. “Barangkali kau terlalu gugup karena ingin bertemu denganku.”

Keduanya tergelak. Hani duduk di kursi bersisian dengan Donghae, ia memesan segelas martini dan mulai berbicara lagi. “Kenapa tidak kauputuskan saja kekasihmu itu?”

Donghae mengulum senyum, “Sedang aku pikirkan.”

“Kau terlalu lama berpikir. Aku bisa diambil orang,” Hani mengedipkan sebelah matanya pada Donghae. Ia meraih segelas martini-nya yang baru saja datang dan menenggak isinya dengan perlahan. Rambut panjang Hani sempat tersibak sehingga Donghae bisa dengan jelas melihat leher jenjang dan pundak menawan sang gadis.

“Hani, bagaimana kalau… bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat,” Donghae bicara dengan gugup. Ia bahkan tak berpikir apa yang baru saja diucapkannya masuk akal. Pesona Hani telah membutakan matanya, membuat akal sehatnya dikalahkan oleh nafsu lelakinya. Rongrongan kuat itu ditanggapi Hani dengan anggukan samar. Ia menaruh beberapa lembar uang di bawah gelas martini-nya yang telah kosong kemudian menarik tangan Donghae tak sabar. Ia menuntun sang pria keluar dari pub.

“Aku yang traktir tadi. Tapi di tempat yang kaumaksudkan, kau harus menraktirku.”

.

.

Donghae dan Hani berjalan bersama. Pakaian Hani sangat mencolok sehingga ia harus bersabar setiap kali beberapa pria bersiul dan mengganggunya. Hal yang sama juga ia rasakan ketika ia bersama dengan Yuri. Bedanya, pria yang menggoda Yuri kurang-lebih berpenampilan perlente dengan jas dan sebuah arloji mahal yang melingkar di tangannya, membuat Donghae muak.

Hani ada benarnya. Jika sekarang ia berani mengunjungi Hani beberapa kali, maka itu sudah pasti perasaannya pada Yuri hilang sepenuhnya.

Keduanya berjalan hingga sebuah Hotel nampak seratus meter di hadapannya. Hani terkikik, membisikkan sesuatu pada Donghae dan membuat sang pria merona. Sang pria melingkarkan lengannya di pinggang ramping Hani, seolah ia tengah mengecap kepemilikan atas gadis itu.

Guntur mendadak mengerung dari langit, menumpahkan setetes demi setetes air hujan yang membasahi para pejalan kaki. Donghae dan Hani sepakat berlari, mereka sudah tak jauh jadi seharusnya segalanya menjadi mudah. Tepat ketika keduanya hampir mencapai teras utama hotel, Donghae berhenti.

“Ada apa?” Hani bertanya. Donghae hanya menatap ke satu fokus berlama-lama dan tidak berbicara apa-apa. Tanpa komando, Hani melakukan hal yang sama. Berdiri di hadapannya adalah sesosok gadis cantik di bawah sebuah payung biru tengah memandangnya terkejut. Matanya melebar dan sebuah payung lain berwarna keemasan yang tengah digenggamnya terjatuh seketika. Sang gadis beralih menatap Donghae dengan mata yang berkaca-kaca. Netranya tak ingin lepas dari iris hitam meneduhkan Donghae, seolah dengan begitu ia dapat membaca jelas semuanya.

Hani terlambat, tapi ia akhirnya tahu, bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Kwon Yuri, gadis yang sering dibicarakan oleh Donghae.

“Yuri,” ucap Donghae terbata. Saat itu Hani kembali mengaitkan lengannya pada Donghae, seolah menunjukkan pria itu telah menjadi miliknya. Pemandangan itu tak luput dari Yuri, namun ia menolak memandangi Hani lama-lama. Malah, kini ia menundukkan matanya, berjongkok dan memungut sebuah payung keemasan yang dijatuhkannya ke dalam genangan air.

“Maafkan aku, aku seharusnya tidak keluar.” Yuri bicara tanpa memandang lawan bicaranya. Donghae tertegun sebentar, kaget lantaran sebuah maaf malah keluar dari bibir Yuri duluan, bukan bibirnya. “A—aku akan menelepon nanti,” lanjut sang gadis.

Ia melangkah tanpa melihat kedua orang di hadapannya, Yuri berjalan menembus hujan dengan payung biru di atas kepalanya, berjalan gamang.

“YURI!” Didengarnya suara Donghae di belakang punggungnya, namun Yuri sudah melangkah semakin jauh. Saat itu, ia merasakan air matanya menetes jatuh bersama hujan. Sebuah ekspresi familier yang bisa ia lakukan setiap malam selama beberapa bulan terakhir tanpa diketahui siapa pun.

Langkah Donghae menggema di antara genangan air. Ia meninggalkan Hani yang berlari untuk berlindung dari hujan di bawah atap hotel, sementara Donghae basah kuyup mengejar Yuri.

“Yuri!” Ia menarik lengan sang gadis hingga payungnya terhempas. Kedua tangannya merengkuh pundak sang gadis, menarik Yuri ke dalam dekapannya. Namun sang gadis nampak menolak. Tubuhnya melakukan pertahanan tanpa perlu repot-repot memandang pria yang kini terasa menyedihkan di hadapannya. “Kumohon jangan salah paham,” jelasnya.

Sang gadis tak melakukan apa pun melainkan menundukkan kepalanya. Hujan membasahi tubuhnya sementara sebuah payung keemasan yang masih diikat rapi dalam genggamannya kini direngkuhnya erat-erat. Yuri berusaha menahan luapan emosi yang membuncah di dadanya. Jika ia menunjukkan tangisnya sekarang, maka ia akan kalah. Untuk itu, saat ia menengadah, ia memaksakan sebuah senyum palsu pada Donghae, seolah menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.

Diserahkannya payung keemasan pada sang pria. “Aku khawatir kau kehujanan sepulang dari rumah sakit, jadi kubawakan payung. Tapi kau sudah basah kuyup begini, aku merasa bersalah.”

Sebuah senyum terulas begitu saja dari bibir Yuri. Entah tulus atau dibuat-buat—Donghae tak bisa menentukan yang mana. Pria itu lantas menyambar tangan sang gadis tepat ketika ia akan berpaling. Yuri tertegun sejenak, menahan sebuah tekanan di dalam tenggorokannya. Ia tak bisa menangis di sini, lagipula, ia tak pantas melakukan itu.

“Biarkan aku menjelaskan,” Donghae bicara dengan cepat, tak memperbolehkan sang gadis menyelanya kembali dengan kalimat super sopannya. “Aku dan Hani, kami berteman. Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu,” dustanya.

Yuri melirik ke samping, tepat ke sosok gadis yang berdiri kebosanan setengah mati di bawah atap hotel. Beberapa kali kepala sang gadis terjulur ke atas, memusatkan rasa penasaran pada obrolan Yuri dan Donghae. Yuri tak ingin beradu argumen dengan Donghae, terlebih sudah jelas siapa yang salah. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah meminta maaf lagi, kemudian berjalan tenang menembus hujan, meninggalkan sang pria di balik bahunya.

Namun saat itu mendadak sang gadis menghentikan ayunan tungkainya, bibirnya sempat menitipkan pesan yang masuk lamat-lamat ke gendang telinga Donghae. Yuri tak pernah menginginkan apa pun dari Donghae, sang gadis tak pernah mengatakan permintaan apa pun pada sang pria. Orang-orang mengatakan Yuri adalah gadis bodoh ketika mereka mengetahui bahwa ia mengencani Donghae, namun sang gadis bak aristokrat yang tak acuh. Ia tidak suka didikte untuk pilihan hidupnya sendiri. Donghae adalah satu-satunya pria yang harusnya bangga menerima Yuri dalam hidupnya, namun pria itu dibutakan oleh nafsu sekejap. Entah bagaimana, Yuri tahu bahwa cepat atau lambat hal ini akan terjadi.

“Kenapa kau melakukan ini padaku?” ujarnya.

Terlonjak karena dustanya gagal, Donghae membiarkan kurang-lebih lima sekon terbuang percuma. Ia berdeham dalam sekon keenam kemudian berujar lirih, “Maafkan aku.”

“Itu belum menjawab pertanyaanku.”

“Aku—“ Donghae menatap punggung Yuri, gadis itu tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia adalah sosok yang ramah dan sangat mencintainya, bahkan ketika Donghae melakukan kesalahan. Pula, Donghae sudah memutuskan bahwa ia telah mengenyahkan rasa cintanya pada Yuri. Tak wajar jika sekarang ia berpolah seolah ia ingin hubungannya dengan sang gadis baik-baik saja. “Sejujurnya, aku sempat merasakan kejenuhan yang teramat sangat padamu.”

“Kenapa? Apa aku berbuat kesalahan?”

“Tidak, tidak pernah.”

“Lalu kenapa?”

“Karena kau tidak pernah melakukan kesalahan, karena kau terlalu sempurna, karena kau sosok yang dipuja semua pria, itu semua membuatku merasa rendah. Seolah aku hanyalah sampah yang tak sengaja dipungut oleh putri raja. Semua orang menatapku seolah aku bersalah hanya karena kau dan aku saling mencintai. Aku benci itu. Aku benci kau yang sempurna.”

Tidak masuk akal, itulah yang pertama kali terlintas di dalam otak Yuri. Dia tahu siapa dirinya dan bagaimana orang memandangnya, meski ia sendiri tidak ingin dianggap demikian. Dipilihnya Donghae dalam hidupnya adalah karena ia ingin diperlakukan sebagaimana orang-orang kebanyakan, ia tidak ingin dituanputerikan. Yuri berusaha keras untuk tak terlihat menonjol. Ia mendorong Donghae untuk melakukan banyak hal yang sebenarnya bisa ia lakukan sendiri. Sang gadis menekan segala kemampuannya agar ia tak terlihat mendominasi hubungan asmaranya dengan Donghae. Ia melakukan segalanya. Ia telah berkorban dalam diam. Lalu hari ini, didengarnya kalimat paling menyakitkan dari seluruh konversasi yang pernah ia ingat. Diucapkan dengan getir, kalimat itu seolah menjadi titik balik dan penanda bahwa segala yang telah Yuri lakukan tidak lebih dari kesiasiaan belaka.

“Baik,” Yuri berbicara dari balik tangis yang tertahan. Hidungnya sengau. Jikalau hujan tidak semakin deras, maka seharusnya Donghae sudah tahu. “Maafkan aku.”

“Yuri, kau tidak salah lalu kenapa kau—ah, aku benar-benar membencimu. Kau selalu seperti padaku, seolah hanya kau yang berhati malaikat di dalam hubungan kita!” Donghae membentaknya kencang, hingga ulu hatinya terasa begitu sakit.

“Aku minta maaf bukan karena hal sepele seperti itu,” Yuri mencengkeram gagang payungnya lebih erat. Setengah dari untaian kalimatnya adalah dusta—khususnya pada bagian sepele. “Aku meminta maaf untuk kesalahan yang mungkin akan aku buat di masa depan; saat aku tak lagi bisa mengatakan maaf kepadamu.”

“Apa maksudmu?”

“Harusnya aku tak bicara panjang lebar padamu, maafkan aku.”

“Tunggu!” Donghae meneriaki Yuri tepat kala sang gadis berlari menjauh darinya, membiarkan payungnya terbalik dan rusak. Yuri tak acuh pada suara parau Donghae di belakangnya yang frustasi mati-matian meminta atensinya. Ia terus berlari di bawah rinai air hujan dan sebuah payung rusak, seolah benda itu menginterpretasikan raga yang telah membungkus hati koyak miliknya.

.

.

Donghae berdiri di akhir dari sebuah antrean. Ia memegangi sebuah buku yang ia bolak-balik lembar demi lembarnya—seolah tak pernah bosan. Pinggiran bukunya sudah menguning, menyiratkan bahwa sudah lama sekali benda tersebut berada dalam kepemilikannya. Berjajar rapi di depannya adalah para gadis muda, berbincang satu sama lain dan memamerkan sebuah buku yang sampulnya masih sangat rapi. Tidak ada kesamaan di antara mereka kecuali buku yang digenggamnya.

Donghae terseyum kecut, hanya bukunyalah yang berbeda.

Matahari semakin condong ke arah barat dan antrean sudah semakin berkurang. Sekarang Donghae dapat melihat jelas ke depan, ke sebuah meja dengan seorang gadis yang duduk di belakangnya. Ia mengenakan setelan kasual dengan sebuah pena yang tak pernah lekang dari sela jemarinya. Ia mengayunkan penanya tatkala seorang gadis berdiri sembari menyerahkan buku. Si gadis yang duduk lantas membubuhkan tanda-tangan dan kata-kata penyemangat di halaman pertama dari buku tersebut kemudian tersenyum sembari membiarkan orang di hadapannya berlalu.

Hal tersebut terjadi berulang kali hingga tiba giliran Donghae. Gadis itu terlonjak sekejap sebelum ia buru-buru meraih buku yang tergantung tak berdaya di tangan Donghae.

“Itu novel pertamaku. Kau membawa buku yang salah, hari ini fansign buku terbaruku,” jelasnya singkat. Namun demikian, sang gadis tampak menunjukkan niatnya untuk berlakon baik. Ia membubuhkan tanda tangannya pada sampul rusak buku yang dibawa Donghae, menuliskan namanya dan menyerahkannya kembali pada sang pria.

“Halaman 378, paragraf ketiga. Kau menyindirku, Nona Kwon?”

Donghae mengayun-ayunkan buku itu di hadapan Yuri. Sang gadis nampak sangat tenang di balik mejanya, menunggu Donghae menyelesaikan seluruh protesnya.

Kadang, kau menjadi wanita yang sempurna; terlalu pintar, terlalu cantik, terlalu kuat. Yang kemudian membuat pria merasa kurang sempurna. Yang kemudian membuat kau ingin mengurangi kesempurnaanmu. Kesalahan terbesarmu adalah ketika kau mengganti mahkota besarmu dengan yang lebih kecil agar priamu mudah membawanya. Ketika itu terjadi, aku ingin kau tahu, kau tidak butuh mahkota yang lebih kecil, kau butuh tangan pria yang lebih besar untuk membawa mahkota besarmu*), kau menulis itu! kau juga menulis namaku tanpa seizinku sebagai bagian dari masa lalumu. Apakah kau sedang mengejekku, Nona Penulis?”

Yuri merenung sejemang. Beberapa penjaga terlihat bergerak di dua sudut yang mengapit sang gadis. Namun demikian, Yuri mengayunkan telapak tangannya yang serta-merta menghentikan pergerakan tersebut. Ditatapnya iris hitam sayu milik Donghae—binar menyedihkan dari yang terakhir kali ia ingat.

“Benar, aku mengejekmu.”

Shi—kau menggunakan namaku di sini! Kau akan menghancurkan hidupku!”

“Aku tak berpikir sampai ke sana.”

“Berengs—“ Donghae menekan emosinya, ia tidak ingin diusir dari antrean hanya karena berusaha mengucapkan kata-kata kotor pada sang gadis. “Kau telah banyak berubah.”

“Kau sudah tahu siapa dalangnya.”

“Kau yang menjebloskan Hani ke dalam bui!” amarah sang pria meledak. Yuri tersenyum samar, kemudian mendongakkan kepalanya hingga kedua netranya bertemu tatap dengan netra frustasi Donghae. “Kau selanjutnya,” bisik sang gadis.

“Kau wanita jalang! Hani sudah tidak memiliki hubungan apa pun denganku sejak saat itu, ia menderita cukup banyak, tidakkah kau memiliki rasa kasihan?”

Yuri menjengitkan kedua alisnya, “Pertanyaannya: perlukah?”

“Setidaknya minta maaflah!”

“Pada siapa? Pada gadis itu, atau padamu?”

“YURI!”

Donghae menendang meja sang gadis hingga Yuri terjatuh di atas lantai dengan sebuah meja yang menimpa tubuhnya. Dua bodyguard berbadan kekar sigap menghampiri dan menahan tubuh Donghae sementara seorang petugas lain membantu Yuri berdiri. Donghae mendengar beberapa orang mengitari tubuh Yuri dan bergantian mengatakan pertanyaan sejenis tidak apa-apa?, apa kau baik-baik saja? Dan haruskah kita melaporkan ini ke polisi?

Tidak ada yang peduli dengan Donghae. Bahkan semua pasang mata memandangnya kesal, jengah dan sebagian berusaha menekan-nekan nomor kontak darurat kepolisian di layar ponselnya.

“Aku sudah mengalami ini berhari-hari. Aku merasa dikuntit belakangan ini, mungkin dia orangnya,” Yuri berdusta. Di sisi lain, Donghae meronta berusaha menjelaskan bahwa ia tak pernah melakukan apa pun pada sang gadis. Namun lontaran kalimat kotor dari bibirnya jelas membuat penjelasannya tak berarti. Pria itu berteriak seperti kesurupan sampai ketika beberapa petugas dari kepolisian datang dan mengamankan situasi.

“Nona Kwon, sebaiknya kau ikut dengan kami. Kami akan memeriksamu sebagai korban sekalligus saksi,” ujar salah seorang petugas. Yuri mengangguk. Ia berdiri dengan ekspresi takut yang dibuatnya sebagai topeng, sementara jauh di lubuk hatinya, ia tertawa keras-keras.

Donghae pada saat itu melintas tepat di hadapannya diapit dua petugas berwenang. Saat itu, sang gadis menghentikan mereka, membisikkan sesuatu di telinga Donghae sembari mengulas senyum picik yang ia samarkan segera.

“Minta maaf? aku sudah melakukannya jauh sebelum hari ini datang. Kau pasti ingat ‘kan Oppa?”

.

.

END.


footnote :

*) A Quote from Michael E. Reid’s book. That is not my own.

HALO!

Kembali lagi dalam oneshot series-ku. Iya, ini adalah fanfiksi dari Imaniarsevy, salah satu pembaca yang telah mengisi formulir fanfiction by request dalam posting-anku sebelumnya. Buat Sevy, maaf ya kalau ceritanya ngelantur dari yang sudah di-request. Hehe

Masih ada beberapa lagi yang masuk dan aku akan menyeleksinya untuk kemudian kujadikan fanfiksi. Pantau terus Blackpearl Fairytale ya, siapa tahu cerita request-an kamu yang terpilih.

Terima kasih sudah berpartisipasi, Imaniarsevy! Dan terima-kasih kepada semua yang sudah mengisi formulir.

nyun.

38 tanggapan untuk “[Vignette] Tale of A Too Much Woman

  1. nah, yuri terlalu baik salah, dia berubah salah, bang donghae kenapa anda? wkwk
    tapi perubahan orang yang patah hati kebanyakan ekstrim yah
    dan aku lebih setuju dicerita ini yuri nggak balikan sama donghae, mungkin udah terlalu capek sama kelakuannya bang donghae itu … mungkin karena bagi donghae cewek baik-baik itu nggak menantang kali sampe dia nikung belakang gitu
    selain sama donghae, aku juga sempet kesel juga sih sama yuri di bagian-bagian akhir itu (padahal aku bacanya sambil senyum-senyum jahat -__-) tapi tetep aja aku suka endingnya… yuri nggak semudah itu balik lagi ke donghae, dia punya cara sendiri buat balas perbuatan si mantan (nah, loh, senyum jahat lagi -__-)

  2. yuriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii T T kok jahat gitu ??
    padahal kalo di pikir2 kesalahan dongek gk fatal2 bgt loh (menurut pemikiranku)
    emang sih, siapa sih yg gk sakit, di khianatin begitu sama orang yg kita cinta. tapi yuri udah keterlaluan jahat nya ini mah..
    aku yulhae shipper 😥 jadi agak sedikit kecewa sama kelakuan mereka bedua di vignette ini. dongek salah, yul juga salah. tapi pembalasan yuri terlalu kejam ke dongek.. hikss 😥
    oke kak nyun, aku suka karya2 mu, mau yuri si pasangkan sama siapa aja, kalo yg buat kak nyun, feel nya dapat semua, gaya bahasa nya juga oke bgt! pairingan mulai dari yoochun, jongsuk, minho dan sekarang dongek. good (y)

  3. udh lama bget aku gk bca” ff kak nyun hiks..hiks..
    Emng dah ff kak nyun tuh udh gk dirakukan lgih. Kece parah feel ny jga slalu dapet

  4. yuriii!! Awalnya kasian banget sama yuri yang di acuh kan sama donghae, tapi setelah baca akhirnya, kasian banget donghaenyaaa… ya ampun kak nyun, mau kayak gimana pun, mau yuri nya baik atau jahat, fanfic kan nyun memang daebak! Semangat buat fanfic selanjutnya kak nyun, fighting!!

  5. donghae-yuri couple fav aku banget >__<
    sempet kesel pas bagian donghae sama hani itu is, terus pas bagian yuri nungguin donghae mau ngasih payung itu sedih ;_____;

    ditunggu ff lainnya kanyun :3

  6. YURIII,
    ah kaak nyun, aku suka karakternya disini. Meski agak ekstreeem, tapi OKE banget.
    Cowok kek Donghae emang harus digituin. Biar mikir. Cowok emang aneh, dikasih yg baek minta yg nakal. Wkwk XD
    Buat yg ngasih ide juga Keren sekali. ;))
    Kak Nyun memang TOP deh kalo masalah narasi, aku sukaaaak ngeutss sama tiap kata yg dipake. Feelnya sampe ke sini. *tunjuk ati*
    Dan… endingnya jangan ditanya. Perfectoooo! ❤

  7. haloooooooo kak nyuuunnnn~~~~~
    nice ff !!!!!!!!!!!!!!!!!!
    ini pan couple fav aku :3 yasudahlah.. ending yang tidak biasa tp aku suka ;D *peluk Yul eon
    mati aja lu ikan sialan *lempar panci *dilempar ke laut ama Donghae -_-

  8. Huwaaaahhh kereeennn!!!!!
    Sebelumnya pernah baca ff ini, tapi dulu gak ninggalin jejak, jadi sekarang mau jadi reader yg baik dan ninggalin jejak disini..
    Seneng bangeettt karakter yuri disini kereenn bangett!! Uh kata2 nya keren banget kak nyun, ya ampun harusnya kak nyun jadi penulis novel aja kali yaa..
    Tulisan kak nyun itu jenis bacaan yg gak akan bosen buat di baca bahkan dg kata berpuluh ribu. Tetep nulis ff yuri kak, semangat!!!

  9. DAAAAAMMMNNN!!!! Yuri keren bgt sumpah dgn ngelakuin kaya gitu. ganyangka sumpah, keren bgt! lagipula siapa duluan yg mulai ngajak dan nyalain api? ga heran yuri nyulut2 apinya biar tambah besar

  10. Astaga, aku ngga jadi nyangka endingnya akan jadi begitu. Aku memang sudah menduga mereka nggak bakal balikan, tapi nggak nyangka bakalan kayak gitu.

Tinggalkan Balasan ke wulan Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.