DOPPELGANGER [1 OF 6]

Doppelganger

A STORY BY BAPKYR

“We live in a world surrounded by stars, and you still don’t believe in magic?”

[early warning] this story rated PG because its cursings, harassments and any other violences.


Kehidupanku biasa saja. Tinggal bersama seorang pria yang hampir kehilangan kebanggaannya sebagai seorang kakak—karena akulah yang melakukan segalanya—serta seorang pria pesulap gila yang berusaha berkali-kali memorak-porandakan rumah pasca atraksi ‘Come-Out-From-That-Fucking-Hat, Bird!’, Membuat hidupku yang tidak nyaman ini semakin payah saja. Kwon Jiyong, kakak terbaikku—aku ahli dalam sarkasme kalau kau mau tahu—selalu saja membuat masalah. Pemalas tak tahu diuntung itu acapkali melibatkanku dalam masalah asmaranya. Kegemarannya adalah bermain-main dengan wanita, dan keahlian itu berhenti sampai di sana saja. Soal membereskan apa yang telah ia gunakan? Jangan harap Jiyong melakukannya. Aku sudah cukup banyak direpotkannya. Jika kau merasa hidupmu kurang beruntung, lihatlah aku. Kehidupanku adalah belokan paling buruk dari trek lurus yang disediakan Tuhan.

Seakan Jiyong belum cukup, hadir Choi Minho, si Pesulap Gila. Aku tidak begitu ingat bagaimana mendiang ibuku bisa-bisanya membiarkan pemuda ini tinggal di rumah kami tanpa direpotkan dengan uang sewa. Kejadiannya terjadi begitu saja, Minho dibiarkan menempati sebuah kamar kosong di lantai dua rumahku selama bertahun-tahun, sejak usianya lima belas. Saat segalanya bermula, sayangnya aku hanyalah gadis enam belas tahun yang naif dan bodoh, aku tidak tahu kelak pemuda ini adalah biang segala kehancuran kisah asmaraku. Oke, kuakui aku sudah lama memendam perasaan padanya, dan si Bodoh itu hanya peduli soal sulap burungnya. Terkadang aku tak percaya nilaiku lebih rendah dari burung.

Jadi, ya, hidupku memang biasa saja. Aku hanyalah gadis bodoh yang banyak menghabiskan waktu dengan merutuki nasibku ketimbang menggunakannya untuk mencari pekerjaan. Aku hanyalah gadis biasa yang tengah berusaha mengatur harta peninggalan mendiang kedua orang tuaku demi kelangsungan hidup. Aku tak ubahnya gadis-gadis lain yang mendamba kehidupan bak sosialita, tapi terlalu malas untuk mewujudkannya. Aku gadis yang sederhana seperti itu.

Tapi, tidak juga. Tidak sampai aku bertemu Anna Rufflekov.

.

.

“Belakangan aku mimpi aneh,” aku mengeluh tepat ketika Jiyong bangun dari kursi malasnya. Ia punya kebiasaan untuk tidur di sana seharian ketika mabuk. Kemarin malam penampilan Jiyong cukup berantakan, mungkin ia baru saja dapat masalah dengan kekasih barunya—atau lebih buruk lagi, yang mana pun, aku tidak peduli.

“Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Memandangi koran lama-lama akan membuat matamu sakit,” pemuda itu bangkit dari singgasananya, ia berjalan ke arahku, menarik gelas penuh air yang sedang kusesap, kemudian melenyapkan isinya seketika. Ia mengedipkan sebelah matanya padaku. “Terima kasih lho.”

Aku menarik kembali gelasnya dan mulai mengisi benda tersebut dengan air. Aku menjaga jarak aman dari Jiyong agar ia tak kembali menggodaiku. Sungguh, apa dia tidak sadar bahwa aku sudah sebesar ini?

“Kau pikir aku memandangi koran untuk apa, bodoh. Kita tidak bisa hidup bergantung pada harta ayah dan ibu selama-lamanya, aku mencari pekerjaan.”

 Jiyong menjengitkan kedua alisnya padaku, “Apa kau yakin kau sedang mencari pekerjaan? Kulihat kau hanya membolak-balikkan halaman koran tanpa melihat sebaris kalimat pun.”

“Kalau kau punya waktu untuk mengamatiku, kenapa kau tidak gunakan itu untuk mulai membantuku mencari uang?”

“Yah,” Jiyong mengacak-acak rambutku. “Itulah perbedaan besar kita, Dik. Aku cukup tampan untuk menarik perhatian wanita-wanita kaya.”

Aku memutar bola mataku. “Terserahlah.”

Jiyong tertawa sebelum akhirnya menghilang di belokan kecil yang mengarah ke kamarnya. Jiyong sangat bangga dengan parasnya, ia mengklaim bisa membeli sebuah jam Rolex baru hanya dengan menghabiskan satu minggu berkencan dengan wanita kaya. Dia tidak membual soal ketampanan, tapi sayangnya ia terlalu lama hidup seperti itu hingga nilainya sangat rendah di mata para wanita. Dulu aku pernah punya seorang teman yang hendak kuperkenalkan pada kakakku satu itu, namun temanku menolak lantaran ia mendengar desas-desus tidak menyenangkan soal kakakku. Jiyong memang seorang cassanova yang tak tahu malu, tapi sebetulnya ia kakak yang baik. Meskipun pemalas, setidaknya ia tahu cara memasak makanan enak sehingga aku tidak perlu direpotkan dalam urusan di dapur.

“Yo, Kwon Yuri. ‘sup,” Minho muncul di hadapanku dengan wajah kusut di saat aku mulai damai setelah Jiyong enyah. Aku tidak perlu bertanya kenapa, benang-benang dan kartu remi yang masih tersangkut di piyama tidurnya sudah menjelaskan segalanya.

“Jangan ‘sup-kan aku, idiot. Ini bukan New York. Lagipula, sulapmu itu amatir, kau tidak akan dapat apa-apa dengan begadang untuk trik baru setiap malam. Mulailah keluar dan cari pekerjaan!”

Minho menggaruk-garuk rambutnya setelah ia berhasil mencuri dan menghabiskan segelas air yang ada di tanganku. “Pagi-pagi sudah ribut. Rileks dong, nanti kau cepat tua.”

Aku menggetok kepalanya dengan tangan kosong. Pria itu mengaduh.

“Berhentilah mengajakku berkelahi setiap pagi, kita tidak akan hidup bersama selamanya untuk itu. Lagipula, suasana hatiku sedang buruk hari ini. Kalau kau menggodaiku lagi aku bisa ambil pisau,” ancamku.

Phew, that escalated quickly. Kalau boleh kutanya—“

“Aku bermimpi buruk. Kau bisa menertawaiku, aku hanya tinggal ambil pisau sebelah sana dan—“ aku mendengar Minho berdeham setelah meletakkan gelas kosong di atas lemari pendingin. Ia melipat tangannya, berdiri dengan pundak agak dicondongkan ke depan, wajahnya difokuskan lurus pada mataku, membuat aku gugup dan ingin berlari secepatnya dari mata cokelat indah milik Minho.

“Hey, aku mendengarkan.” Suara Minho tidak elegan dan berkarisma seperti Jiyong, tapi suaranya yang lembut dan berkarakter membuatku ingin diam saja dan membiarkan ia yang berbicara untukku. Aku suka sekali memerhatikan perubahan air wajahnya setiap kali kata demi kata ia ucapkan dari bibirnya; aku suka sensasi yang ditimbulkannya di dalam dadaku. Aku suka Choi—Ah, aku jadi melantur.

“Ada seorang gadis mengetuk pintu depan pada malam hari. Ia mengenakan jubah hitam hingga ke kepalanya, rambut yang tersembul sedikit dari jubahnya berwarna cokelat, senada dengan kulitnya. Saat aku membukakan pintu untuknya, ia tengkurap di atas lantai, tangannya menggapai-gapai kakiku, membuatku ketakutan setengah mati,” aku tak pernah tahu seperti apa wajahku saat aku menceritakan mimpiku pada Minho, tapi menilai dari polahnya yang serius kupikir ceritaku sedikit menarik perhatiannya. Agak aneh memang, pasalnya Minho yang kukenal sama jahilnya seperti Jiyong, mengganggu dan menggodaiku adalah hobi favorit mereka. Meski demikian, kali ini Minho terlihat berbeda. Apakah ini semacam taktik baru untuk mencemoohku? Atau dia hanya merasa kasihan padaku karena tak seorang pun di rumah ini yang sudi mendengarkan mimpi konyolku?

Yang mana pun, itu sudah berakhir saat Minho menyela ceritaku.

“Kau menonton Insidious 3, itulah efeknya. Kubilang juga apa!”

Aku memutar bola mataku, menarik napas dan mendenguskannya kencang di depan wajah Minho. Komentarnya sangat tak bermutu dan ya… menyebalkan. Jadi, aku hanya melanjutkan ceritaku.

“Si Gadis Jubah Hitam ini menarik kakiku saat aku ingin berlari, ia menahanku di ambang pintu. Tubuhnya bergeliat bagaikan ular hitam, ia berusaha untuk bangkit. Suara-suara jeritan mulai terdengar di mana-mana, kakiku seperti dilem, keberanianku hancur berkeping-keping. Saat itulah aku menutup mataku dan mendengar bisikan rendah seorang gadis di telingaku.”

“Gadis? Si Gadis Jubah Hitam atau lain lagi?”

“Saat itu aku tidak tahu, namun ketika aku membuka mata sesuatu yang aneh mulai terjadi. Hujan turun dengan sangat deras, petir berkilat-kilat hampir membakar barisan tiang listrik, suara-suara berisik mulai bergema dari bawah tanah diiringi dengan bunyi berdebum yang seolah semakin dekat. Aku begitu terdistraksi dengan pemandangan tersebut sampai tidak sadar bahwa si Gadis Jubah Hitam sudah berdiri tepat di hadapanku, hanya beberapa senti dari hidungku. Mata cokelatnya, pipi tirusnya, rambut apaknya, hidung mancungnya—hampir semua bagian dari wajahnya, mengingatkan aku pada seseorang yang kukenal. Ia benar-benar sangat mirip dengan… diriku sendiri. Begitu miripnya hingga aku merasa diriku sedang memandangi cermin. Aku menjerit ketakutan, mendorongnya hingga ia terjengkang, membuatnya harus merangkak untuk kembali. Namun aku dengan gesit menutup pintu, membiarkan sekat kayu itu memisahkan aku dengan apa pun yang sedang merangkak di luar sana. Dan…”

“Dan?”

“Saat itulah aku sadar apa yang aku lakukan sia-sia. Bisikan yang sebelumnya samar terdengar di telingaku, kini menjelma menjadi sumber suara yang jelas. Gadis Jubah Hitam berdiri di hadapanku, di dalam rumah, di depan foto kelulusanku. Anna Rufflekov, ia menyebutkan namanya. Tak berhenti sampai di sana, bibirnya bergerak kembali, membentuk sebuah kalimat perintah yang lugas dan mendesak. Seolah hidupku berada tepat di ujung lidahnya.”

Minho mengerutkan dahinya. “Apa yang ia katakan?”

“Ia memerintahkanku untuk lari.”

Minho mendenguskan sebuah tawa kecil. “Lari? Secara harfiah?”

“Entah,” aku menjengitkan kedua bahuku. “Kupikir aku cukup mahir untuk melakukan lari sungguhan, namun jelas, bukan itu maksudnya. Sejujurnya, atensi terbesarku tak berada di sana. Ketika Anna Rufflekov mengatakan itu, aku langsung berpikir untuk lari saat itu juga di dalam mimpiku. Namun aku berhenti setelah selangkah.”

“Kau melakukan itu di dalam mimpi? Kau menguasai dirimu sendiri?”

Aku mengangguk pasti. “Di situ letak keanehan mimpiku. Aku sudah tiga kali bermimpi kisah yang sama selama tiga malam berturut-turut, dan aku selalu dapat menguasai bagian itu. Aku selalu berhenti berlari ketika Anna Rufflekov memerintahkanku.”

That’s interesting. Mimpi terjadi di dalam alam bawah sadar, seseorang yang dapat mengendalikan mimpinya itu… mungkin cukup langka. Kau orang yang langka, Yuri. Apa ada alasan yang membuatmu tidak berlari? Apa yang kauingat?”

“Tidak ada yang menahanku. Aku semata berhenti atas keinginanku sendiri. Saat itu aku menyadari dua hal. Pertama, aku berada di rumahku sendiri bersama orang asing, jika harus ada yang lari maka orang itu adalah Anna Rufflekov. Kedua, jika memang aku yang harus berlari… ,” perasaanku mendadak tidak begitu nyaman. Bulu kudukku meremang seketika, seolah ada yang memperhatikanku dari setiap pojok ruangan dan tengah menunggu saat yang tepat untuk menerkamku. Aku tidak suka perasaan ini, perasaan tertekan dan terpojok, namun demikian, kisahku belum selesai. Minho nampaknya sangat serius mendengar ceritaku, jadi aku ingin ia, dengan segala kebodohan yang ia miliki, bisa menyelamatkanku dari perasaan mencekam ini entah bagaimana caranya.

“Jika memang aku harus berlari, setidaknya aku ingin diberitahu: melarikan diri dari apa?”

BRAK! BRAK!

Aku terperenyak. Minho bangkit dengan gesit. Setelah menyambar sebuah tongkat baseball milik mendiang ayahku di bawah meja nakas dekat ruang keluarga, ia berjalan dengan hati-hati ke arah sumber suara bising yang asalnya dari ruang tamu. Alih-alih mengekori pemuda tersebut, aku berjingkat-jingkat ke kamar Jiyong, mencoba meminta bantuan pada kakak pemalasku. Aku cukup terkejut bahwa dia tidak ada di mana-mana di dalam kamarnya. Aku naik ke lantai dua, setelah menahan Minho untuk tidak maju ke ruang tamu sebelum aku menemukan Jiyong. Anggukan setuju dilakukan olehnya sementara aku bergegas mencari Jiyong di seluruh tempat yang memungkinkan untuknya bersembunyi. Namun, ya, Jiyong benar-benar tidak ada di mana pun.

Dengan cukup panik, aku turun ke lantai dasar, memberitahukan informasi terkini pada Minho. Ia membelalakkan matanya padaku—yang kurasa cukup lucu akibat efek piyama kusut yang dikenakannya. Kami tak memiliki ruang cukup untuk panik, pasalnya hal-hal sudah berkelebat secara cepat. Selanjutnya yang kami tahu adalah seorang—bukan, seekor—kadal raksasa berkepala manusia sudah berdiri tepat di depan, meneteskan liurnya di atas kepala kami.

Saat itulah Minho menolehkan kepalanya ke arahku, mencoba metode berbicara dalam panik.

“Kurasa maksud Anna adalah ini: bukan melarikan diri dari apa, tapi dari siapa.”

.

.

Kris sudah kelelahan. Mata pedangnya sudah terkikis parah, menandai betapa keras pertarungan yang baru saja ia selesaikan. Tak ingin pedangnya melukai tuannya, ia bergegas melemparkan benda itu keluar dari truk yang ia kendarai. Entah benda itu jatuh di mana atau jadi apa, Kris berusaha mengabaikannya. Ia sudah terlambat untuk menjadi pahlawan, bisa jadi ia tidak akan bisa sampai di tujuannya dengan selamat. Membuntuti truknya, adalah sebuah Jeep hitam yang dituani oleh pengemudi dengan kemampuan buruk. Beberapa kali bemper belakang truk Kris bertumbukkan dahsyat dengan mobil Jeep tersebut namun Kris tidak memiliki waktu untuk menghentikan truknya dan marah-marah pada si Pengemudi Gila. Kalau Kris berhenti, tamatlah riwayatnya.

Kris tahu bahwa keberangkatannya ke Thailand akan berdampak sangat buruk. Namun sebagai salah seorang mata-mata terbaik, ia telah menaruh kehidupannya di garis depan, mempertaruhkan semuanya, semata-mata demi janjinya pada seorang gadis yang tak pernah ditemukannya. Kris tahu istilah melankolis, namun ia tidak sadar bahwa sekarang, di balik otot kekar dan kemampuan fisiknya yang aduhai, diam-diam ia sedang terjangkit penyakit satu itu.

Stop your shit, you son of a bitch!

Kris menggelengkan kepala. Ia memasukkan telunjuk kirinya ke dalam telinga, mengorek lubangnya kemudian meniup kotoran yang telah dicongkelnya dari sana. Ia melirik ke arah spion di kirinya, memerhatikan seorang pria yang tengah membidikkan HK MP5 hitam pada ban-ban truknya.

Such a persistent person, aren’t you?” Kris menyeringai. Ia melirikkan matanya ke arah tebing-tebing kapur rapuh di sebelah kanan kemudian tertawa ketika ia melihat ke jurang di sisi kiri. Kepala Kris dipenuhi berbagai rencana berbahaya yang akan membunuh dirinya ketika salah perhitungan, alih-alih, Kris semakin bersemangat. Seolah tewas adalah tujuannya sejak awal. Tanpa membuang waktu, ia menginjak pedal remnya kuat-kuat, membuat mobil di belakangnya tak kuasa untuk mengimbangi. Sebuah tumbukkan dahsyat dengan bunyi-bunyian retak dan aroma tangki bahan bakar bocor memenuhi seluruh indera Kris. Seolah kecelakaan tadi adalah tanda bagus, Kris membuka pintu truknya, berguling ke kanan sembari melemparkan dua buah pisau kecil ke arah dada orang-orang yang kepayahan di balik kemudi Jeep. “Eat that, Jerk.

Kris tidak menunggu keberhasilan bidikannya, setelah benturan dahsyat tadi—yang membuat tangki bahan bakarnya bocor—ia yakin probabilitas ledakan akan sangat tinggi. Kris melakukan satu lagi adegan menantang maut—yang menurutnya akan menyelamatkannya. Ia terbang, koreksi, jatuh dari tebing kapur dan meluncur bebas ke sebuah hutan lebat di bawahnya. Kecepatan jatuhnya semakin kencang ketika tanah gambut dengan kerumunan akar tunggang besar semakin jelas ditangkap netranya, gravitasi benar-benar menyukai Kris. Namun Kris tidak mengkhawatirkannya, ia tahu cara yang paling cocok untuk tewas, dan sudah pasti jatuh tidak termasuk salah satunya.

Kibasan angin kencang kemudian hadir di wajah Kris. Seolah telah dinanti-nantinya, sang pria menyeringai.

“Terlambat seperti biasa ya, Pilot Kim?”

.

.

tbc


Aku gak memberikan sebuah konten yang panjang di chapter 1 ini, soalnya, yah this story was originally an oneshot. Tapi karena beberapa additional scene, jadilah semacam trilogi. Akan di-update tiga hari sekali, jadi tungguin aja ya setiap malamnya. Terima kasih.

Salam,

nyun.

 

125 tanggapan untuk “DOPPELGANGER [1 OF 6]

  1. I’m back! Nyun, ijin baca ff yang ini ya soalnya kangen sama KrisYul hehehe.. Kwon Yuri – Kwon Jiyoung, too much perfect! Penasaran ff yang kali ini akan berkelanjutan seperti apa >< Aku masih belum bisa ngilangin kesemsem(?) aku sama Bloody Star walaupun udah sekian lama<3 Ini beneran loh hehehe..

  2. 1.Masih awl untk menebak bagaimana endingnya… ahahahaha
    2.Dimana hlg si Kwon Jiyong?
    3.Anna Rufflekov kah yg dtg kediaman Yuri?
    4.I like Minyul… hehehehe
    5.Siapa yeoja yg di maksudkn Kris?

    Kwon Jiyong mmg playboy trhebat ya di ff ini, dan mungkin jga ‘brother’ yg jahil tpi sekurang2nya ttp aja berguna dlm kerja msk2..
    Pasti payah ya tnggl sebumbung sma namja yg kmu syg tiap hari kmu hrs mngalami skit jntung.. ahahahaha
    Mimpi itu seakn2 tnda ada sesuatu bkl brlaku.

  3. Well… kalau ngomongin FF nya kaknyun ituu… apayaa, gak pernah ngecewainlah…
    Dan kalo udh genre fantasy, action hehhh, udah dehh itumah makanan kaknyun.

    seperti biasa konflik pasti cukup belibet kedepannya #kaknyungituloh. gak sabar untuk ngupas sedikit demi sedikit konflik dan alur yang ada di FF ini…

    aku lanjutt yooo kaaaaakkkkk 🙂

  4. Wkwk jiyong pede bgt yaa
    Emngsih bg lu ganteng binggo#peluk
    Wkwk minho masih awut2an abis bgun tidur,
    Oh jadi siapa itu anna?
    Moga jiyong selamat TT
    Nah ada apa ya hub kris?
    Izin bca nextpart kak nyun

  5. Konfliknya belom ada disini yaaa
    Who’s Anna? Jangan” anna adeknya Elsa? /oke. Abaikan./

    Move to the next part!

  6. Halooo kaknyun..
    Izin baca ulang ff mu kak.. ini udah yang kedua kali nya sih aku baca, cma yg dulu aku belum smpe end.jadi baca ulang deh.. hehehe

  7. Blom jelas ceritanya tentang ap kak,,
    Minho yuri krris d tempat yg bedakan??

    Tadi nya aq pikir ceritanya masih jelas,, sampe tiba2 ad kadal kepala manusia..
    #lhaapaini
    Berhubung yg nulis fiction kakak, jadi aq berfikir semua bisa terjadi
    Hahahahaha

Tinggalkan Balasan ke retha lee Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.