SHOULD WE PLAY A GAME [4 of 6]

SWPGa story by bapkyr (@michanjee)

Should We Play A Game

| 4 of 6 |

please read the 3rd chapter first.

“To hurt or to be hurt, your choice.”


Ibu pernah mendikte kami bahwa tak baik terlalu dekat dengan orang asing, apalagi mengajaknya minum soju tepat beberapa jam setelah mengenalnya. Tapi masalahnya, sejak kapan aku mau mendengarkan ibu? Lagipula Donghae tidak seperti orang asing bagiku. Dia memiliki selera humor dan bahan candaan yang menyenangkan, dan aku tidak berkeberatan untuk memesan sebotol soju dengannya lagi malam ini.

“…Dan dia Boom! meledak. Itu lucu mengingat bosku tidak pernah marah,” katanya menutup cerita “My Stupid Boss” versinya. Kami tertawa bersama, menenggak gelas kecil isi soju sekali-dua kali sembari menyantap tteokbokki yang dipesannya. Donghae adalah pendongeng yang baik, mendengar berita bahwa ia hanya setahun lebih tua dariku, rasanya begitu nyaman. Kami bisa jadi teman yang lengket.

“Bagaimana dengan pekerjaanmu, Yuri? Ceritakan soal hidupmu.” Donghae menawarkan gelas kosong padaku, menuangkannya dengan soju sampai penuh. Aku tak ingin sampai pada bagian ini, aku benci ketika orang lain mengetahui kehidupanku. Alih-alih kutarik gelasnya dan kutengguk isinya sampai habis. Pelan-pelan, aku membuka diriku, Donghae adalah orang asing, tentu ia tak mungkin banyak mengerti.

“Aku belum memiliki pekerjaan, kehidupanku juga agak suram. Aku gadis yang payah, pengangguran dan diasingkan oleh keluarga. Lucu ‘kan?”

“Menurutku,” Donghae tersedak sesaat ia akan bicara dan aku tertawa. “Nah, kau tidak payah. Hidupmu tidak suram, dan kau bukan gadis pengangguran. Kau cuma… tersesat.” Donghae menenggak segelas soju lagi setelah berbicara.

“Tapi aku merasa diriku benar-benar payah.”

“Kau cantik, Yuri. Tidak ada gadis cantik yang payah di Korea,” ia tertawa lantang, membuatku harus susah payah mendiamkannya kembali.

“Kau benar,” aku tertawa semu. “Tapi aku telah lama kehilangan kecantikkan itu, sejak seseorang meninggalkanku di masa lalu.”

Donghae menghentikan tawanya yang mengganggu dan mulai mendengarkanku dengan sungguh-sungguh. Itu membuatku sedikit ngeri. “Ceritakan saja, aku bisa menjaga rahasiamu,” ujarnya meyakinkan.

Aku tak bodoh untuk langsung menceritakan segalanya pada Donghae, tapi entah mengapa aku percaya bahwa setidaknya ia bisa mengertiku. “Seorang pria pernah berada dalam hidupku, tapi tidak pernah benar-benar ada. Dia meninggalkanku tanpa berita dan terakhir, kutemukan dia telah menjalani hidup yang berbeda. Aku hancur, tapi aku tak mudah meninggalkan masa lalu. Kemudian tanpa kusadari, aku sudah di sini, di sebuah apartemen mewah dan dipaksa untuk menikahi seorang pria yang tak kukenal.”

“Apa ada yang bisa kaulakukan untuk mencegahnya?”

Aku menggeleng atas pertanyaan Donghae. Pria itu sepertinya paham, dan ia membungkam mulutnya sendiri. Aku mengakhiri ceritaku dengan segelas soju lagi, membiarkan minuman itu menuruni kerongkonganku dengan cepat.

“Kautahu, Yuri, kurasa sekarang saatnya kau mengambil sebuah belokan tajam.”

“Maaf?”

“Yah, aku juga tadinya pria yang payah, mungkin masih sampai sekarang. Tapi tidak ada pria dan gadis lajang tanpa masalah, nah adakalanya kau harus berbelok dan mengambil resiko untuk menyelamatkan dirimu. Tidak ada jaminan itu lebih baik sih, tapi setidaknya kau tak terlanjur berjalan jauh di trek yang mungkin akan membawamu ke jurang. Kalau kau bosan, belok lagi saja terus, hingga kau benar-benar tahu mana jalanan yang aman untuk dilalui. Seperti sebuah jalan raya.”

Aku tahu Donghae berkata demikian di tengah rasa mabuk yang menderanya, begitu pun aku. Kami sudah lelah dengan soju dan sama-sama terkapar di meja. Pipi kiriku menghantam meja, membuatku memandang ke arah yang sama dengan yang tengah dilihat Donghae, pemandangan sungai Han yang gelap.

Jelas bahwa Donghae adalah pria asing, namun keasingan itu tak membuatku takut. Pria ini seolah dapat membaca luka terdalam yang terpatri di dalam jiwaku, dan dia memberik sebuah cahaya dari ceruk yang dikeruknya. Lapisan bercahaya itu menembus jiwaku, membiarkan mataku melihat bahwa ada kesempatan besar bagiku untuk berubah.

Donghae tertidur, jadi tak mungkin baginya mendengarkan rintihan dan tangisan kecil yang pecah dari bibirku saat aku mulai menelepon seseorang.

“Halo, Jiyong…”

.

.

Menghadiri pesta pernikahan Jiyong merupakan hal yang melegakan. Aku berhasil membuat diriku nampak baik-baik saja, mengobrol di tengah kerumunan kaum hedonis yang tertawa memuakkan. Segelas wine kubawa-bawa di tangan, berpindah dari kerumunan satu ke kerumunan yang lain seraya memerhatikan kalau-kalau ada kesempatan kecil untuk kabur dari penglihatan ibu. Kabar baiknya, aku ditemani Jessica Jung.

Jessica akan mengambil alih seluruh topik politik dan bisnis di tengah kerumunan, melonggarkan waktu yang cukup buatku untuk menahan mual. Yah, aku tidak ahli dalam hal begituan.

“Segelas wine lagi?” ayah menghampiriku dalam balutan jas mahalnya. Kudengar ia menyewa beberapa penjahit Inggris demi membuat bagian berenda kecil di lipitan bagian bawah kemejanya. Namun sayangnya, para penjahit tersebut kurang memerhatikan betapa tidak pantasnya busana seperti itu dikenakan pria tua yang perutnya buncit seperti ayah. Aku tidak mau berkomentar. Ayah juga nampaknya tak mengacuhkan hal tersebut.

“Oke,” kataku seraya menyambar segelas wine yang disodorkan ayah. Kami menepi, membelakangi sebuah jendela besar dari gedung mewah yang disewa ayah untuk perhelatan akbar ini. Jendela kaca tersebut membatasi ruang penuh tamu dengan sebuah ruangan kecil yang nampak seperti galeri lukisan kuno. Ayah sepertinya memerhatikanku ketika berbicara, “Dulunya ini gedung kesenian. Ada beberapa galeri lukisan, panggung pertunjukkan, ruang musik, workshop seni kriya, dan sebagainya. Tapi gedung ini dijual pada salah satu rekan bisnisku, dan ia mengubahnya menjadi gedung serbaguna. Tentu beberapa ruangan masih dipelihara sebagaimana mulanya. Tapi tak ada pengunjung.”

Itu menjelaskan banyak mengapa ada galeri lukisan usang di sisi lain jendela.

“Omong-omong, Yuri…” ayah berbicara lagi padaku, bening mata abu-abu rentanya menarikku untuk diam dan memerhatikan. “Terima kasih karena kau sukarela menuruti kemauan kami.”

“Oh, itu bukan hal besar,” kataku seraya meneguk wine dengan canggung.

“Aku dan ibumu tahu kau pasti jengkel dan menganggap kami sangat egois. Yah, kuakui juga kami hanya punya sedikit waktu yang disediakan untuk membesarkanmu. Tapi semakin tua aku dan ibumu, kami semakin khawatir akan banyak hal. Kau mulanya adalah periang, namun setelah kepergiaan pria bernama Choi Minho itu, kau berubah menjadi seorang pemberontak,”

Aku memandangnya culas, “Kau dan ibu harus tahu aku tak bertindak demikian hanya karena pria itu saja.”

“Ya, tentu. Kami tahu segalanya. Kau kecewa padaku, pada ibumu, pada kakakmu, yang memberimu uang tanpa memberi kasih sayang. Kami tahu segalanya, Nak. Kami menyesal karena bertindak setelah semua sangat terlambat. Aku menikahkan Jiyong dengan keluarga baik-baik, tidak kaya, namun berbudi. Sandara, putri satu-satunya dalam keluarga tersebut, adalah gadis penurut yang tidak banyak menuntut. Kami bertemu dengannya di gereja, dan kautahu, gereja biasanya tempat yang tepat untuk mencari orang-orang baik hati.”

“Apa maksudnya menceritakan ini padaku?”

“Aku sedang mempertontonkan kisah nyata padamu, Nak, bukan drama. Kami tidak silau oleh harta, kau sebenarnya bisa menikah dengan siapa pun yang kaumau, Jiyong juga. Tapi kami memilihkan seseorang yang sekiranya dapat mengerti dirimu, sama baiknya ketika kau mengerti dirimu sendiri. Pandangan renta dari kami mudah-mudahan tak pernah salah.”

Aku meneguk habis wine-ku, meletakkan gelasnya di atas nampan yang dibawah seorang waiter pria. Ayah masih memandangiku, mungkin berharap-harap cemas aku akan mengamuk dan merusak pernikahan Jiyong. Atau ia hanya menyesal telah mengatakan hal yang tidak seharusnya kuketahui. Entahlah.

“Sekarang aku tahu kenapa kau dan ibu memutuskan jadi pebisnis, kalian sangat logis dan persuasif,” aku menyimpulkan sebuah senyum di bibir. Ayahku tertawa, mungkin ini adalah kali pertama ia tertawa demikian bahagia sejak terakhir kali kulihat dalam kenangan masa kecilku. Mudah-mudahan ini pertanda baik.

“Nah, Nak, barangkali kauingin berjalan-jalan sejenak ke galeri lukisan tua itu,” Ayah menunjukkan ruang galeri yang dibicarakannya beberapa saat yang lalu. Ia mendekatiku, berbicara dengan volume yang lebih rendah tepat di telingaku. “Kalau-kalau kau penasaran siapa pengantin priamu.”

.

.

Benar saja, aku menemukan sosok seorang pria yang tengah membelakangiku, mengagumi lukisan realis seorang ibu yang tengah menyusui bayi kecilnya. Sang ibu menyembunyikan bayinya di dalam jalinan selimut, dengan mata sendu dan letih, menimang sang bayi penuh kasih sayang. Setidaknya itulah kesan yang kudapat setelah sejenak memandangi figura besar tersebut. Kini fokusku beralih pada sang pria. Kepalanya masih mendongak, kedua tangannya masuk ke dalam saku-saku celananya, dan ia nampak tak menyadari kehadiranku.

“Permisi,” kataku lembut. Aku berusaha berjalan formal dengan gaunku yang kepanjangan. Malah aku berjinjit, takut-takut sepatuku membuat riuh gaduh di lantai kayu galeri ini. Sang pria nampak tak bergeming, jadi aku memanggilnya sekali lagi, “Permisi?”

“Oh, ya, aku di sini.” Pria itu akhirnya bersuara, ia memutar tubuhnya untuk menyambut kedatanganku. Tak perlu waktu lama bagi kami untuk saling memandang dan mengagumi paras masing-masing. Tapi perlu waktu lama bagiku untuk mencerna dan menjalin semuanya menjadi satu. Tahu tidak, ketika ia menunjukkan wajahnya, sosok Donghae-lah yang tertangkap oleh indera penglihatanku.

“Oh, bagaimana kau ada di sini?” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Bodoh sih, siapa pun juga harusnya sudah tahu apa yang dilakukan Donghae di sini. Alih-alih menjawab, ia tersenyum bodoh seraya menggaruk-garuk kepalanya. Kesannya, ia sudah tahu bahwa aku akan menemukannya, dan itu memberikan sentuhan ganjil.

“Apa itu kau?” aku bertanya lagi. Jika yang dimaksudkan ayah dengan “pengantin pria” adalah Donghae, maka sudah seharusnya ia mengerti ketika kutanyakan hal ini. Aku sempat berharap bahwa dia tidak mengerti dan menjawab dengan “apa maksudmu?” tapi melihat hidupku yang kompleks, sepertinya sih tidak akan.

“Ya?”

“Apa ‘ya’ itu sebuah pertanyaan? Atau jawaban?”

Donghae tertawa. Tangannya kini sudah bebas dari saku sempitnya, kini mulai menepuk-nepuk satu sama lain, seolah aku adalah macan penghibur dalam sirkus. Ketika ia terhenti, kami sudah berpandangan satu sama lain. Pria ini bukan lagi Donghae yang menghiburku atau mengajakku bersenang-senang dengan tiga botol soju, atau bukan lagi pahlawan dari seorang gadis kecil tetangga. Pria ini nampak lebih serius, berkarisma, memiliki determinasi yang jelas pada jernih matanya. Kala itu aku juga baru menyadari betapa terkesimanya aku akan aura yang dipancarkannya. Ia benar-benar bagai cahaya yang masuk ke dalam jiwa, menuntunku hengkang dari kegelapan.

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanyaku ketika kesadaranku sepenuhnya pulih.

“Apa ya?” Donghae berjalan ke arahku, berdiri sedemikian rupa sehingga kini ia menyejajariku namun dengan tubuh yang menghadap ke arah berbeda. Tangannya mengait tanganku sementara aku masih membeku akan aroma maskulin yang menguar dari lehernya. Ketika aku sadar, aku tidak berniat ingin melepaskannya. Kulitnya sangat dingin dan kasar, seolah ia sudah menjalankan kehidupan yang keras sebelum bertemu denganku. Aku hampir akan mengaitkan jemariku untuk menyambut tangannya, tapi aku kalah cepat. Tangannya sudah melingkar di perutku, telingaku dibisikinya, “Aku telah mengambil belokan tajam, Yuri. Dan dirimulah yang kutemukan.”

.

.

Aku tidak bisa memejamkan mataku semalaman, jadi aku mengundang Jessica menginap. Kami telah memberi berbagai macam benda untuk membunuh waktu, karena sepertinya kami akan begadang. Baru setengah jalan ketika film horor yang dibeli Jessica dimulai, kami harus diinterupsi oleh dering ponsel nyaring milik Jessica.

“Maaf, Yuri, sepertinya aku harus pulang.”

Dengan begitu, berantakanlah semua rencanaku. Aku mengemasi seluruh snack dan kepingan dvd yang berserakkan di atas kasurku. Aku mengulangi ritual gosok gigi dan membersihkan wajah, kemudian berbaring kembali di bawah selimut, mencoba memejamkan mata. Sialnya, tidak ada yang terjadi. Kantukku tak kunjung datang dan perasaanku gelisah tak menentu.

Sosok Donghae masih terbayang-bayang gamblang dalam benakku, memberikan kesan canggung yang menyenangkan. Jantungku berdentum, rasanya mendekati bahagia, namun tidak persis seperti jenis perasaan yang diberikan Minho padaku. Sosok Donghae yang berkeliaran di benakku tidak bisa kuartikan sebagai jatuh cinta. Tapi aku juga tidak membencinya. Aku hanya bingung, tidak punya kepastian perasaan apa ini.

Gelisah, kuputuskan untuk mengganti gaun malamku dengan setelan kasual kaus dan jins. Aku teringat soal taman dengan kolam ikan di sisi gedung apartemenku, dan kukira berjalan-jalan dapat membantuku untuk tetap tenang.

Setelah mengenakan sandal, aku mengendap-endap keluar dari pintu 9012. Saat menunggu lift, aku memerhatikan kedua unit apartemen yang mengapit unitku. Aku sangat berhati-hati, tak ingin membangunkan pemilik apartemen 9013 dan 9014. Aku butuh ketenangan, jadi sebaiknya mereka tak mengikutiku.

Dalam semenit, aku sudah sampai di area taman. Sudah sepi, ini hampir pukul dua belas. Tadi beberapa penjaga keamanan menanyaiku macam-macam, mereka menawarkan bantuan setelah tahu aku ingin berjalan-jalan di taman. Yah, pokoknya mereka terus bicara hingga aku memutuskan untuk memberi beberapa lembar uangku.

Tamannya terdiri dari area bermain anak-anak di sisi kanan, pepohonan rindang dengan bangku-bangku kayu di sisi kiri, serta sebuah kolam ikan dengan air mancur di tengah-tengah area. Air mancurnya sedang mati—mungkin dimatikan dengan alasan hemat listrik—tapi aku tahu kolam tersebut akan beroperasi normal dalam jam main anak-anak.

Merasa memandangi kolam dengan air tenang tak bagus untuk ketenteraman, aku memilih sebuah bangku kayu di bawah pohon rindang. Ketika aku duduk, ada aroma bakau kering yang hangus, seolah kakek tua perokok tempo hari telah menandai ini sebagai singgasananya. Aku tersenyum sebentar, lantas mulai menengadah ke langit malam. Tubuhku merosot, aku mengatur pernapasanku seraya memejamkan mata.

“Nona Kwon?”

Kejadiannya berlangsung cepat, sampai-sampai aku tak sadar bahwa suara itu nyata. Choi Minho berdiri di hadapanku dengan sekantung belanjaan dari minimarket dekat sini, masih mengenakan setelan kemeja lengkap. Aku mencium aroma alkohol dari mulutnya, samar sekali.

“Sedang apa kau di sini, Nona Kwon?” ia menanyaiku lagi. Aku sudah berkali-kali terperanjat, jadi aku bertingkah normal kali ini.

“Menghirup udara segar. Kau baru pulang?”

Minho menatap belanjaannya kemudian menjatuhkan bokongnya tepat di ruang kosong sebelahku. “Aku baru saja kembali dari rumah ibuku, Lauren ingin menginap di sana beberapa hari, jadi aku harus bolak-balik ke sana dan kemari selama beberapa hari.”

“Kau minum-minum di rumah ibumu?”

Minho mengendus kemejanya, kemudian tertawa setelah tahu apa maksudku. “Ada sebuah acara perayaan kecil seusai jam kantor, aku minum-minum sedikit. Kalau kau, menghirup udara segar sendirian?”

Aku tak percaya bahwa hari di mana kami bisa berbicara santai seperti ini akan datang lagi padaku. Sayangnya, kami dipertemukan kembali sebagai tetangga biasa, bukan teman atau sahabat, apalagi pecinta. Sudah jelas Minho tak mengenaliku, bahkan bisa jadi tak ingat siapa aku. Diam-diam aku bersyukur, bagiku itu pertanda jelas bahwa sejak awal aku memang orang yang tak memiliki tempat di hatinya. Seharusnya tak masalah jika kami mengobrol sebagaimana tetangga normal pada umumnya, ‘kan?

“Kenapa? Kau ingin menghidup udara segar juga?”

“Jangan konyol,” ia tersenyum. “Aku tidak akan.” Alih-alih pria itu kini duduk dengan nyaman di sisiku. Tubuhnya melorot, memandangi langit hitam yang sama denganku. Ia melipat tangannya di depan dada, perlahan memejamkan matanya.

“Apa yang kaupikirkan?” tanyaku.

“Bertanya-tanya apakah aku bahagia.”

“Boleh aku mengusulkan sesuatu?”

“Ya?”

“Kau harusnya bahagia.”

Aku mendengar Minho tergelak kemudian membuka matanya untuk memandangku. Iris cokelatnya tak nampak begitu jelas di tengah penerangan yang redup dan rembulan yang ditutup mendung. Tapi aku tahu, dia di sana, menungguku bicara.

“Kau sekarang sukses, tampan, dan kau ayah yang baik. Bagian mana yang membuatmu tidak bahagia?”

Minho menjengitkan bahunya.

“Bagian ‘sekarang’ yang kausebutkan tadi, tidak membuatku bahagia. Seolah kau tahu seperti apa aku dahulu, dan aku tidak menyukai itu.”

Ia terduduk tegak setelah mengaduk kantung plastik dan menarik dua kaleng soda. Aku mendengar bunyi-bunyian ketika Minho membuka tutup kaleng sodanya yang disambut oleh busa-busa soda berlelehan, dua kali bunyi serupa, kemudian ia menyerahkan salah satu kalengnya padaku. Aku masih bertanya-tanya apa maksud dari pernyataannya, tapi rasa menyegarkan dari soda yang melewati kerongkongan mengacaukan konsentrasiku.

“Kalau kau, apa yang kaupikirkan?” ia balas bertanya.

“Hidupku dan belokan tajam,” kataku.

“Apa?” Minho tertawa pelan.

Aku menjengitkan kedua bahuku, meluruskan cara duduk. Kutatap Minho sepersekian detik sampai gerimis samar menginterupsi kami. “Aku akan menikah dua hari lagi, dan aku tidak tahu apa aku mencintai calon suamiku.”

Tadinya kupikir aku berhalusinasi, namun Minho benar-benar menjatuhkan kaleng birnya hingga celananya basah. Aku terus berkata “kau tidak apa-apa?” dan memastikan bahwa kata “ya” dari bibirnya memang benar-benar demikian. Setelah ia lebih tenang dan aku sanggup menguasai keterkejutanku, kami berbincang kembali. Saat itu Minholah yang pertama kali membuka pertanyaan.

“Kau dijodohkan?” tanyanya, aku mengangguk.

“Kau kenal dengan siapa kau akan menikah?”

“Baru beberapa hari, tapi ya. Kau juga mengenalnya, penghuni 9013 itu.”

“9013, maksudmu, apartemen 9013? Lee Donghae?” Minho nampak terkejut, tapi aku tak berprasangka macam-macam. Dari apa yang kutahu, Donghae pernah mengatakan bahwa ia dan Minho adalah teman satu kantor. Kukira keterkejutan itu ditujukan karena hubungan pertemanan mereka, bukan hubunganku dengan Minho dahulu.

“Kau terlihat sangat terkejut, kenapa?”

Minho berdeham, kurasa ia kembali ingin menguasai dirinya kembali. Dipikir-pikir, ini sangat aneh. Minho adalah pebisnis andal yang dikenal sangat dingin—aku membacanya di beberapa majalah—dan kini ia duduk di sampingku, yang notabene adalah tetangga barunya. Sungguh tidak masuk akal orang yang disinyalir sangat angkut sepertinya bisa duduk bercengkerama dengan tetangga baru menyebalkan yang hampir menabrak anaknya sepertiku. Aku tidak bisa merajut alasan tepat di balik tingkah lakunya. Asumsiku satu-satunya adalah…

“Apa kau mengenalku sebelumnya?”

Aku memang mengada-ada, tidak mungkin Choi Minho bisa mengenaliku, seorang gadis yang hanya hidup di masa lalunya bertahun-tahun lalu. Tapi diam-diam aku ingin mendengar jawaban “ya” keluar dari bibir Minho, semata untuk menjernihkan perasaanku padanya.

“Tentu tidak,” ia berucap kemudian. Kami berpandangan selama ia bicara. “Tapi aku pernah mengenal seorang gadis yang mirip denganmu.”

Untuk dua puluh detik aku tidak bisa memikirkan apa pun selain wajah Minho. Tapi di detik selanjutnya aku sadar bahwa aku akan dinikahkan dengan orang lain dua hari lagi. Rasanya tidak benar begini, ini sangat aneh. Ketika aku pikir Minho mulai menyadari eksistensiku di masa lalunya, dia malah tertawa, memukul-mukul pundakku dan berkata, “Aku bercanda.”

Itu lebih baik didengar, tapi tetap saja hatiku perih. Aku benar-benar dilupakan olehnya. Kalau seperti ini terus kedengarannya menikah dengan Lee Donghae bukan hal buruk. Aku sudah memutuskan mengambil belokan tertajam yang pernah disediakan Tuhan, dan aku tidak memiliki perseneling mundur sekarang.

“Kau adalah teman mengobrol yang menyenangkan, Tuan Choi. Tapi ini sudah pukul satu, dan gerimis. Aku akan masuk duluan, kau mau ikut?”

“Tidak,” ia menggeleng. “Tapi silakan jika kau mau kembali.”

“Aku tidak suka menasehati orang, tapi kau akan sakit jika kehujanan.”

“Serius,” dia tertawa padaku. “Aku baik-baik saja.”

Melihat tawanya yang seperti itu, aku urung mengajaknya ikut serta ke dalam gedung. Dahulu Minho memang rapuh, tapi sekarang ia sudah tumbuh dewasa, kurasa kehujanan bukan lagi masalah baginya.

“Baiklah, aku duluan.”

.

.

Di luar hujan deras, dan aku masih tidak bisa mendatangkan rasa kantukku. Menyerah, aku memutuskan untuk tetap terjaga hingga pagi menjelang. Secangkir cokelat hangat menjadi pilihan tepat alih-alih kopi. Mataku pasti akan bengkak pagi hari nanti, dan aku memiliki janji temu dengan Donghae di sebuah butik, memilih-milih gaun pengantin. Aku hanya berharap cokelat mampu membuatku lebih segar sedikit, sebelum aku menutupinya dengan make-up.

Sudah pukul dua dini hari, dan aku masih mondar-mandir di dalam apartemenku. Bosan di dalam sementara di luar hujan deras, aku memutuskan untuk duduk-duduk di gazebo pribadiku. Apartemen yang kutinggali benar-benar canggih, atap plastik dari gazebo kecilku bisa dibuka tutup sedemikian rupa. Mungkin kalau cuacanya agak lebih cerah, aku lebih suka membukanya.

Segelas cokelat hangat kedua sudah berada di tanganku. Dahulu, di masa-masa depresiku, biasanya aku memadukannya dengan sebatang rokok. Aku pernah bertengkar dengan Jessica gara-gara itu dan berjanji tidak akan menyentuhnya lagi. Sebagai ganti, aku menyantap segala macam snack ringan yang ditinggalkan Jessica.

Pemandangan dari lantai sembilan ternyata tidak sejelek yang kukira. Aku bisa liat lampu-lampu dan hiruk-pikuk Seoul yang tidak pernah sepi dari sini. Juga lingkungan apartemenku, serta taman tempat aku mengobrol dengan Minho tadi. Meskipun aku protes soal apartemen kelewat luas ini pada ibu, perlahan-lahan aku mulai menyukainya. Tidak seburuk yang kukira.

Aku mengedar pandang ke cahaya-cahaya kecil yang berada di dekat kolam ikan. Ada dua orang petugas keamanan berjalan kerepotan. Di tengah-tengahnya berdiri seorang pria yang tak sadarkan diri. Aku terkejut.

Aku tak punya waktu berpikir dua kali, jadi kulesatkan langkahku keluar, mengkhawatirkan pria yang sebetulnya, tak pernah mencemaskanku sama sekali.

.

.

to be continued.


HURAY!

Tinggalkan komentar dan like ya, biar semangat gitu, He he he.

nyun.

151 tanggapan untuk “SHOULD WE PLAY A GAME [4 of 6]

  1. jadi dongek calon suami yuri.. omg !!! aku dukung deh.. yuri ambil ajalah belokan tajam itu.. awalnya emang tak terasa tapi seiring berjalan nya waktu. aku yakin kalian bisa saling cinta *uhukk* lagipula dongek kan gk kalah tampan , gak kalah berkarisma, yaa cuma kurang tinggi aja *ups*
    minho segitu prustasi nya kah wktu dengar yuri di jodohkan kkkkk sampe ujan2an, pingsan pula hihi. kalo cinta itu kejar bang, jangan diem aja liat clbk nya sama temen kantor mau nikah.. duhhh haha

  2. “kau tidak payah. Hidupmu tidak suram, dan kau bukan gadis pengangguran. Kau cuma… tersesat.”
    Kata2x gue demen . ^^

    Trnyta donghae yg d jodohkan am yul .. Wahhh . yulhae ^^
    “Aku telah mengambil belokan tajam, Yuri. Dan dirimulah yang kutemukan.”
    Klo gue yg jdi yuri mngkin gue lngsung nerima haeppa jdi suami gue . Hahahha

    Oia .. Minho npa ? Dia pingsan ? Kok minho gtu sih . Msih nutupin prsaanx trhadap yul .

    Izin k part brikutx yah ^^

  3. Pasti yg d gotong2 itu minho…
    Dy sedih karna yuri mw nikah.. teros mabuk
    Pasti gitu kan kak…

    Makin penasaran.. next chap

  4. pertama q pkir bkn donghae yg di jodohin ma yul..
    eh ternyata dobghae.. kasian bgt minho q rasa dia jg cinta ke yul
    tpi knp dia pura” bhong gk knal ma yul sgala.. jdinx yul tmbah bnci donk…

  5. aku hanya ingin mengingatkan bahwa ada typo, tapi aku menghargainya karena kanyun udah kerja keras buat remake ff nya😂😂 good job elah bagusbagusbagusssssss next duluuu wkwk

  6. Sebenernya bagian yuri akan menikah 2 hari lagi itu gak realistis ya? Mana mungkin mau cari baju pengantin sehari sebelum menikah? Ggwp

    Selain itu semuanya sangat mulusssssssssss kayak…..
    Waduh

    Udah mau pindah ke next chappie!😆😆

  7. setelah beberapa hari ku baca juga chap ini
    asli bapeeeerrr
    duhduhduh minho kenapa kau tak jujur saja jikalau dirimu masih ingat yul:’)
    otw to next chap

  8. Rumit banget
    Yuri mau nikah 2 hari lagi
    dan sepertinya minho gak rela
    sebenarnya aku juga gk rela
    Minho pura2 gk kenal sama yuri
    itu semua demi yuri kan?
    Gak tega sama minyul
    huahhhhhh

  9. Waahh ternyata Donghae lah calon suami Yuri..
    Ternyata di balik kungkungan orange tua Yuri mreka tidak memikirkan harta sbgai tunggak utama untuk mnjdi pasangan anak2 mereka.. huhuhuhu..
    Huh!!!!!Shock ya Minho kabar Yulhae dijodohin..
    Permainan kata2 Nyun cantik sngt..Tersusun….
    Minyul? Yulhae?

  10. Belokan tajam, bahkan sngat tajam
    hae nasehatin yuri untuk belok ada tjuannya toh
    dia udah tau kalo dia d jdhin sma yuri
    minho, kamu si pke acra pra2 ga knal sgla, kan kalh cpet sma hae, tmen kamu

    tuh kan, kyanya kamu pingsan gra2 mkrin cinta yuri kan ? So tau yahh huhu

    lnjt bca, hwaiting ka nyun

  11. Sempet kepikiran juga kalau yang di jodohin ke yuri itu donghae, ternyata bener. Suka jesika di sini yang super baik, ngerubah yuri jadi bukan perokok lagi. Itu pasti minho yang di bawa dua petugas tadi. jadi alasan minho pura pura lupa sama yuri itu apaan? Makin penasaran

  12. kalo kata aku sih, mendingan jg yuri sama donghae sih. dibanding sama minho. aku emang minyul shipper, tapi klo masalah baca cerita kaya gini, lebih enakkan ikutin alurnya aja. ga ngotot hrs minyul, aku tetep enjoy2 aja baca ceritanya, hihi^^

Tinggalkan Balasan ke khanza kyuri Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.